Mohon tunggu...
ILHAM SUMARGA
ILHAM SUMARGA Mohon Tunggu... Guru - Buruh Pendidik

Sebuah celotehan dalam tulisan~

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Anda Berprofesi Buzzer, Buruk?

5 Oktober 2019   19:00 Diperbarui: 11 Oktober 2019   22:48 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ngoceh itu perlu etika, gak asal nyeblak dan nuduh sembarangan --anonime

Manusia makhluk Tuhan yang kompleks permasalahannya. Satu ngoceh pakai akal, satunya baper karena mikir pakai hati dan perasaan. Dengan datangnya sistem jaringan berupa internet, menambah beban dan dilematik baru.

Hidup di zaman industri 4.0 tidaklah mudah. Mesikpun kedepan menjanjikan sebuah harapan indah. Tapi, kalau manusia yang menghuni masih belum dewasa? Apa boleh buat! Kekacuan yang terjadi.

Fenomena akhir-akhir, bukan hanya menyoal politik saja. Tapi framing tentang pendidikan media yang kiranya perlu ditingkatkan. Tiada batasan untuk belajar, selagi sempat. Mari berproses bersama.

Buzzer bagi saya adalah sebuah pekerjaan, ya, profesi. Goalnya adalah uang, buat apa? Tentu kebutuhan hidup dan makan. Tidak munafiklah tentang itu. Semua pasti kalap kalau tau kerja duduk manis, difasilitasi komputer, merangkum kata-kata yang tak lebih dari 160 kata.

Tak ada yang salah dengan seseorang berprofesi buzzer. Sebab, mereka terbentuk untuk bermain dan berselancar di media sosial, yakni twitter. Menilai baik dan buruk, tentu tergatung pada tujuannya? Ya, bergantung bos "pemberi uang".

Mungkin baik, apabila seorang buzzer yang berpegang teguh pada nilai kebenaran dan nilai keadilan. Selama itu menjadi rujukan hidup, bagi saya tak ada masalah.

Namun, nampaknya kemelut yang terjadi akhir-akhir ini tidaklah semudah yang dibayangkan. Banyak manusia, banyak pemikiran, dan banyak pula perasaan. Macam-macam jenis perasaan dan pemikiran terobok-obok menjadi satu. Ya, bercampur di dalam ekosistem baru, bernama media sosial.

Bukan sekedar menyoal tentang kedewasaan sebagai sebuah solusi, lalu literasi media sebagai penawarnya. Tapi permintaan dari empunya, alias bos buzzer yang tak berpegang teguh pada nilai kebenaran dan nilai keadilan.

Ujungnya, niat untuk melempar kebaikan, malah kembali menyerang pada dirinya sendiri. Lagi-lagi, media itu tak ada perasaan. Soal yang dibawa adalah tentang presepsi. Dan ini yang sulit dibendung. Ketika bocor, susah untuk menambal arus yang kuat itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun