Mohon tunggu...
ILHAM SUMARGA
ILHAM SUMARGA Mohon Tunggu... Guru - Buruh Pendidik

Sebuah celotehan dalam tulisan~

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

"Nano-nano" KPK

17 September 2019   15:57 Diperbarui: 18 September 2019   10:29 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: tempo.co | Gedung merah putih dikubur

Sumpah, akhir minggu ini dihebohkan dengan lembaga yang bernama KPK. Cukup nyaring pemberitaannya, mulai media online, media cetak, media televisi, dan media sosial. Hampir semua media yang ada sedang menyoal tentang KPK.

Itu semua bermuara dari yang namanya Revisi UU KPK. Entah itu inisiatif siapa, siapa yang memulainya, sepengetahuan orang awam: UU KPK itu berhasil terrevisi. 

Mulanya, saya menyambut hangat insiatif perubahan UU KPK, karena pandangan parsial saya tentang check and balance. Itu saja yang menjadi patokan pemikiran hemat orang non-hukum. 

Naluri awal saya jatuh pada pikiran, manusia tetaplah manusia, ia punya sisi nafsu, hati, dan akal. Begitupun lembaga yang didalamnya dihuni berbagai macam manusia-manusia.

Inilah yang mendorong pandangan saya bahwa, sebaik-baiknya lembaga, tidak boleh diberikan kekuatan penuh, ia sewaktu-waktu bisa mempergunakan kekuatan itu. Istilah akademiknya: abuse of power, atau penyalahgunaan kekuasaan.

Setelah menimbang, dan memperdalami langkah selanjutnya yang dilakukan lembaga pembuat UU, yakni: DPR-RI plus Presiden, sambutan hangat awal saya mulai hilang.

Isi yang tersirat kini berubah, bukan lagi tentang KPK lemah atau kuat, tapi tentang kepercayaan. Saling curiga, saling tidak percaya, dan saling ragu pun muncul. Entah mengapa, setelah pemilihan pimpinan KPK yang baru, dan pemberitaan publik menampilkan Ketua KPK yang terpilih dengan suara penuh dari Komisi III DPR-RI serat masalah.

Pertama, masalah dualisme jabatan yang diemban. Mendengar fakta lama, Cicak vs Buaya, menyoal antara kepolisian dengan KPK. Dan sekarang dua lembaga negara ini fusion, bergabung. Kenapa tidak? yang notabane ketua KPK terpilih berafiliasi dari kepolisian. 

Stigma masyarakat tidak akan pernah lepas dari pandangan itu, meski di suatu waktu tidak ditugaskan lagi menduduki kepolisian. Sebagai raykat awam, moralitas ini tidak pandas, memandang KPK itu dibangun dengan spirit kemandirian. 

Kedua, menyoal kembali revisi UU KPK, ternyata Dewan Pengawas mempunyai peranan yang cukup signifikan, dan sangat berpengaruh tehadap jalan kerja KPK kedepannya.

Jika ditelisik, bukan lagi bicara soal check and balance, akan tetapi kontrol yang berlebih. Lebih lagi, dewan pengawas ini dilantik Presiden. Apa yang bisa dijelaskan nanti? niat untuk memperkuat, malah melucuti sendiri taring tajamnya.

Ketiga, masalah pegawai KPK, yang wajib dari ASN, saya menduga ada indikasi berafiliasi dengan pemerintah. Mau tidak mau, jika ASN otomatis ada moralitas dari setiap diri untuk ikut pemerintah. Itu etikanya. Nomongi soal kemandirian? nanti dulu~

keempat, menyoal masalah penyidik dan penyelidikan, yang termaktub dalam draf RUU KPK, yang bunyinya:  Pasal 43A ayat 2 disebut pendidikan penyelidikan itu diselenggarakan oleh KPK bekerja sama dengan kepolisian atau kejaksaan.

Ini pun mengidikasikan ada campur tangan pihak lain, bagi saya check and balance tidak lagi diindahkan, sebab terlalu tidak mandiri, tidak merdeka, dan tidak independen.

Tulisan ini sengaja saya buat, sebab geram dengan macam-macam soal KPK, tepat juga kiranya tagline KPK di ujung tanduk. Semoga KPK spiritnya tetap seperti dulu, taring tajam, dan tumpas korupsi hingga akar-akarnya. Sebagai WN biasa, hanya bisa berharap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun