"Maafkanlah keadaan kita sejak kemarin dan kemarinnya lagi ini, Anakku. Tapi kita tidak punya kopi lagi. Kita tidak punya gula lagi. Beras tinggal sedikit."
"Kayu bakar pun kulihat sudah tidak ada, bahkan di sekeliling surga kita ini, Ayah."
"Kita harus segera pergi dengan kepala tertunduk. Meninggalkan semua ini. Kita telah kalah."
"kemanakah tujuan pelarian kita kalau bukan ke kota yang kau sebut bacin, buas itu?"
 "Ya. Makassar. Jakarta. Makassar. Jakarta. Atau mungkin kota lain. Langit masih akan setia memayungi kita, tanah masih akan setia mengalasi tidur kita."
"Tertunduk. Tunduk menanduk. Saya mendengar, saya taat."
"Berkemaslah."
-000-
Dingin masih tersisa ketika, dengan tidak sengaja seorang penduduk yang akan menuju sawahnya menyadari bahwa rumah itu telah ditinggalkan kedua penghuninya. Ia berlalu begitu saja setelah menoleh beberapa saat. Sama sekali tidak merasa perlu untuk mencari tahu lebih jauh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H