Mohon tunggu...
Ilham Sanrego
Ilham Sanrego Mohon Tunggu... Guru - Guru Madrasah Aliyah PP Alahid Pape

sederhana, penuh mimpi

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

1 Januari

11 Mei 2024   12:52 Diperbarui: 11 Mei 2024   13:18 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

1 Januari 1998

Matahari baru saja muncul malu-malu dari ufuk timur. Hawa dingin sisa tadi subuh masih terasa hingga ke tulang sumsum. Dari balik selimut tebal, La Melleng menggeliat. Diregangkannya tubuhnya satu dua kali. Buku-buku tangannya digemeretakkannya pula dengan sedikit memaksa. Terdengar suara seperti kaleng rombeng yang diinjak-injak tak peduli. Gemeretak itu, suara seperti itu selalu dapat menenteramkannya setiap pagi. Ia masih berusaha mengumpulkan kesadaran yang terbang berkeliling sejak tengah malam tadi. Ia menguap dan terkentut-kentut beberapa kali, hampir bersamaan, sebelum duduk di pinggir dipan. Ujung kulupnya sesungguhnya sejak tadi sudah tegang dan kaku. Ia menahan kencing agak lama. Sejurus kemudian, ia telah berada di belakang rumah. Pertama-tama memegangi kemaluannya yang terasa dingin dan tegang itu. Ia lalu menyerok air segayung dan mulai berkumur-kumur. Suara menggelontang dari dalam mulutnya adalah juga hal yang sama setiap pagi. "Ah, dingin ini sungguh-sungguh sialan." Kalimat pertama yang diucapkannya pagi ini rupanya adalah sebuah umpatan. Tidak jauh berbeda dengan kalimat-kalimat pertama yang diucapkannya dengan tekanan yang berat pada hari-hari sebelumnya.  

Dari belakang, ayahnya yang masih tampak demikian bugar berjalan ke arahnya. Laki-laki tegar itu menyerok pula segayung air dan berkumur-kumur. Air bergelontang dari dalam mulutnya. Sisa-sisa tembakau dan daun-daun kecil yang menyelip di antara gigi-ginya yang masih utuh ikut terbawa keluar ketika air dari dalam mulutnya dimuntahkan. Kedua laki-laki anak beranak itu berpandangan sebentar. La Melleng menelisik, mungkinkah ada sesuatu yang lain pagi ini, pada keseluruhan ayah yang dilihatnya dengan seksama di hadapannya. Mungkinkah ia menemukan sosok lain pada tubuh ayahnya yang sesungguhnya telah demikian ringkih itu. Nafasnya tertahan sebentar sebelum menemukan jawaban yang sama seperti hari-hari sebelumnya: "Mustahid paripurna." Tak ada apa pun yang perlu dikhawatirkan. Ayahnya pun tampak agak dalam kini memerhatikan inci demi inci tubuh anak tunggalnya itu. Itu rambut yang masih hitam pekat seperti tersisir rapi dengan sendirinya. Itu mata yang memandang tajam penuh selidik. Itu kening yang sudah agak mengkerut. Ada semacam irisan kecil yang tidak mungkin dapat dilihat jika tidak diperhatikan sungguh-sungguh. Irisan kecil namun agak mengganggu itu tepat di bawah kelopak mata sebelah kiri. Meski telah kedatangan tamu tak diundang, bola mata yang besar itu masih tampak garang. Ada sesuatu yang terus menyala di situ. Apinya dipantik setiap waktu seiring tarikan nafas yang juga masih terus memburu. "Ah, engkau putra titipan. Misaimu menyeringai hingga ke penghujung semesta. Bahkan di sebaliknya sekalipun. Teruslah hidup, Anakku." katanya dalam hati. Dan, ya, ia tidak salah lihat. Itu dada bidang sebagaimana dadanya, itu kulup yang masih terus menegang sebagaimana kulupnya.

Tarikan nafas keduanya terdengar bersamaan. Tanpa mereka pedulikan pun, hal seperti itu tentu bukan sesuatu yang biasa-biasa saja. "Aku melihat kegelisahan yang begitu samar, Nak. Subuh, sekitar pukul empat tadi engkau mengigau. Suaramu sangat tenang. Kalimat-kalimatmu seperti puisi. Aku belum pulas benar ketika engkau masuk dari memandangi langit hingga pukul satu hari baru ini."

"Aku menyadarinya, Ayah. Tetapi aku tidak bisa segera menangkap kesadaranku. Aku bangun sebentar. Melihat sekeliling. Tubuhk begitu berat, sangat sulit kugerakkan. Sebuah kekuatan, mungkin  tangan tak terlihat, atau mungkin sesuatu yang lain segera mendorong dadaku hingga tubuhku terjengkang. Aku telanjang tertelentang. Tetapi puisiku terus berlanjut. Irama nafasku yang memburu kurasakan demikian pas dengan kalimat-kalimat penuh tekanan yang berlompatan begitu saja dari bibirku.Ha.ha.ha. Kurasa aku berhasil memenangkannya, pertarungan macam apa pun semalam itu."

"Ya, itu puisi yang melankolis. Itu puisi yang penuh penghayatan. Engkau memenangkannya dengan penuh kebersahajaan. Engkau meneriakkannya dengan kebencian, sayangnya. Tapi aku tidak menuduhmu bersalah. Engkau benar. Engkau benar."

"Baiklah. Jika demikianlah titahmu, Ayah, demikian pulalah yang kuterima sepenuhnya. Tak ada sangkalan setipis ari sekali pun. Hmm, Aku tak pernah bisa menulis puisi. Ia kuucapkan begitu saja, lahir begtu saja tanpa aku sempat membuahinya terlebih dahulu. Kalimat-kalimatnya berlompatan tanpa dapat kukendalikan. Oh, ya. Kopi segera kuseduh. Rokok yang filternya warna hijau kulihat terakhir sebelum tidur ada di saku ayah. Geretannya pun di situ. Bungkusnya masih gemuk. Hmm, dadamu masih bidang. Masih terlampau perkasa mengingat usiamu, Ayah."

"Ayahmu ini tidak sedang ingin mengepulkan asap pagi ini. Paru-paruku ingin kualiri keinginan-keinginan. Ada banyak hal yang mungkin saatnyalah kini engkau pun kuperdengarkan. Maafkanlah jika yang kubagi untukmu kali ini bukanlah perihal yang indah-indah. Bahkan tidak selalu baik. Anakku, pagi ini engkau berdehem terlalu sering."

"Tetapi dingin akan seperti makanan para raja jika dihidang bersama kepulan dari mulut dan hidung. Apatah lagi perbincangan kita ini tampaknya semakin merangkak naik, semakin naik. Sebentar lagi, sesaat lagi akan mencapai puncaknya yang paling tinggi lalu turun dengan cepat hingga ke dasarnya."

"Tetapi aku tidak sedang ingin menyantap hidangan para bangsawan. Nafsuku sedang menarikku ke arah yang lain. Ini akan mengajarimu hal baru yang sesungguhnya tidak sama sekali baru. Hal baru yang sudah demikian lama. Hanya saja baru kali ini kau akan menyadarinya."

"Dan, mengertilah aku, Ayah, betapa kita adalah dua di antara begitu banyak manusia pilihan yang sedang bergandeng tangan. Bergandengan tangan dengan sangat erat. Tidak perlu dipisah jarak dan waktu lagi. Kita telah mencapai puncaknya dan segera turun dengan cepat. Secepat-cepatnya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun