Di Selasar mushola, aku tengah rehat dari pekerjaanku yang belum selesai. Aku hanya punya waktu satu jam, tak boleh lebih. Jika aku memaksa lebih tentu harus siap dengan konsekuensinya. Dimarahi bos, dikatai pemalas, atau yang lebih buruk bisa dapat SP. Tak peduli selelah apapun fisik dan batinmu, si Bos hanya mau pekerjaanmu tuntas. Sebab dia sudah membayarmu, mengganti lelahmu dengan nominal yang sebanding, katanya. Ya! Mungkin untuk si Bos, nominal itu sudah sebanding dengan kerja yang kita lakukan setiap hari, dengan kucuran keringat yang mengucur. Mungkin memang sebanding, jika ia hanya mengukur dari kerja fisik, tapi ada yang luput dari penglihatannya. Si Bos tak pernah membayar lelah batin dan pikiran kita.Aku misalnya, anakku yang baru berumur delapan bulan terpaksa dirawat karena panasnya tak kunjung turun. Di waktu yang bersamaan, sakit ginjal bapakku makin parah, lusa ia sudah harus cuci darah. Tetapi Perusahaan tak mau tahu soal itu, yang Perusahaan mau, yang si bos mau aku harus tetap masuk dan menjalankan kewajibanku sebagai pegawai.
Nasibku memang tak sebaik teman-teman semasa kuliah. Mereka kini ada yang duduk di kursi parlemen, sebab sejak kuliah bakatnya begitu nampak dalam politik pragmatis kampus. Juga wajahnya yang bisa dibilang good looking menjadi daya tarik lebih setelah memang ia juga anak yang pintar dan lumayan cerdas. Kukatakan lumayan, sebab pada saat-saat diskusi sering kali argumenku yang justru dipakainya untuk menguatkan kontruksi argumen miliknya. Nama temanku itu Radja, mungkin saat hendak memberi nama, kedua orangtuanya berharap kelak anaknya itu akan menjadi seorang raja. Mungkin saja. Ada juga temanku yang lain, yang kini dikenal sebagai da'i kondang tanah air. Seorang pendakwah yang memiliki bayaran cukup tinggi setiap kali memberi kuliah. Dia menjual ilmunya? Menurutku tidak, bayaran itu setimpal dengan hikmah dan ilmu yang ia dulang begitu lama. Jika orang-orang boleh membayar mahal atas setiap pertunjukan yang menghibur, kenapa orang-orang tak boleh membayar untuk ilmu dan pengetahuan? Jadi, bagiku dia bukan sedang menjual ayat-ayat Tuhan, tapi dia dibayar karena bekerja sebagai penyiar agama Tuhan. Nama temanku mungkin cukup familiar, maka aku samarkan namanya menjadi Shohib. Satu lagi, kawanku yang memang sudah punya privilage sejak lahir. Dia lahir dari keluarga kaya, dan kini tugasnya hanya meneruskan perusahaan milik bapaknya. Untuk kasus yang ini aku tak cukup terkesima, sebab langkahnya seakan dibukakan oleh orangtuanya. Temanku yang terakhir ini sebut saja namanya, Beni.
Sedangkan aku, kenapa malah memilih kerja sebagai buruh di perusahaan industri? Tentu menjadi seorang buruh bukan keinginanku, siapa yang mau menjadi karyawan kontrak yang harus panas dingin di setiap tahun-tahun perpanjangan kontrak. Di perpanjang atau tidak? Itu pasti dirasakan oleh seluruh karyawan kontrak. Namun, aku tak bermaksud mengkerdilkan profesi buruh, toh aku juga seorang buruh. Justru aku ingin melampiaskan egoku. Apakah nasib buruh harus selalu berada di tangan pemilik modal? Harus berada di bawah aturan main Perusahaan? Seloyal apapun, gaji yang kami terima tetap saja sama.
Jika saja para pemilik modal memiliki pandangan serupa Robert Bosch, pemilik perusahaan Bosch yang terkenal itu. Dimana ia rela membayar besar pegawainya. Sebab baginya, kesejahteraan dan kelayakan upah akan berbalik pada bisnisnya juga. Semakin besar ia membayar upah pada pekerjanya, semakin produktif dan rajin para pekerja. Sayangnya di negara kita ini masih banyak Pemilik modal yang main mata dengan dinas terkait, sehingga pemilik modal lebih rela membayar secara ilegal pada dinas terkait asalkan ia bisa membayar upah para pekerja dengan upah dibawah minimum.
Waktu istirahatku hampir selesai, seorang teman yang baru saja bangun dari tidur singkatnya bertanya padaku.
"Jon, jam berapa sekarang?" Tanyanya dengan mata masih kantuk.
"Jam satu kurang lima menit." Jawabku.
"Yuk, ah. Ntar disemprot lagi kita kalau telat." Ujarnya.
"Kamu duluan aja, aku mau merokok barang sebatang lagi."
Matanya menatap selidik ke arahku. Ia lalu beranjak ke tempat wudhu, mencuci muka lalu kembali dengan wajah penuh tanda tanya.
"Masalah rumah lagi?" Tanyanya menyelidik.
Aku diam tak menjawab, hanya menggeleng saja.
"Sudah, yang di rumah tinggal di rumah. Disini tugas kita nyari nafkah." Ujarnya lagi.
Aku pun bangkit, mengekor pada temanku yang sudah jalan lebih dulu.
Baru saja mulai melangkah. Ponselku berdering. Kulihat sebuah nama, tertera Najwa dengan simbol love di sebelah kanannya. Ada apa gerangan istriku memanggil di waktu kerja seperti ini? Tentu ini bukan hal yang biasa.
Kuangkat segera, di ujung sana istriku terdengar sengguknya.
"Ada apa?"
Istriku hanya terus menangis, dan terdengar samar-samar riuh orang menenangkan. Pikiranku seketika membuyar. Ada apa gerangan hingga istriku nangis sesenggukan. Juga kenapa seperti riuh orang yang menenangkan.
Tak lama, seseorang merebut ponsel milik istriku. Tanpa basa basi ia menyuruhku untuk bersabar. Dari suaranya, aku menebak jika orang di ujung sana adalah Abang iparku.
"Kenapa, bang?" Tanyaku, sambil berharap cemas.
"Sabar, Tuhan lebih sayang anakmu." Ujarnya singkat.
Seketika air mata jatuh bertubi-tubi. Daksaku seketika lemas tak berdaya. Benarkah kabar ini? Atau ini hanya mimpi belaka.
Di ujung sana, Abang iparku masih terus memanggil-manggil namaku.
"Iya bang, aku segera pulang." Jawabku singkat. Memutuskan panggilan.
Aku pun melesat menuju ruang kerjaku, merapihkan barang-barang. Di waktu bersamaan atasan mengumumkan jika hari ini seluruh karyawan diwajibkan untuk kerja lembur untuk mengejar target.
Melihat aku yang sedang merapihkan berkas ia bertanya.
"Joni, mau kemana kamu? Waktu pulang masih lama."
"Aku harus pulang segera, pak. Anakku meninggal." Jawabku.
Rekan kerjaku yang lain memandang iba ke arahku. Dari tatapnya kurasakan empati sesama pekerja.
"Tapi pekerjaanmu belum selesai, kamu selesaikan saja dulu." Ujar atasan yang mungkin tak pernah mengenal kata empati.
Rekanku yang tadi sempat rehat bersamaku menghampiriku. Merangkul seraya berkata. Sabarlah, kamu harus sabar.
"Pak, anaknya Joni meninggal, masa bapak mau paksa dia terus kerja. Gimana si?" Ujar Ridwan, rekanku memang sangat mengerti.
"Yasudah, kalau kamu boleh pulang, tapi gajihmu saya potong ya."
Mendengar itu darahku naik. Orang macam apa yang ada dihadapanku ini? Tidakkah ia punya sedikit empati untuk orang lain?
"Tidak perlu, pak. Saya tidak perlu digajih. Mulai hari ini saya berhenti." Jawabku seraya meninggalkan perusahaan itu dengan hati yang panas.
Jadi, begitulah awal mula aku membangun bisnis ini, ujarku pada karyawanku yang bertanya apakah ia boleh cuti selama beberapa hari untuk menemani bapaknya yang sedang sakit keras.
"Dibolehkan, pak?" Tanyanya.
Aku mengangguk. Sebab bagiku, sebuah pekerjaan bisa ditangani oleh orang lain. Tetapi mengurus dan berada disamping orang kesayangan saat mereka membutuhkan, hal itu tidak bisa diwakili oleh siapapun.
Kita bekerja untuk membahagiakan orang-orang tersayang, tetapi jika pekerjaan kita justru menghambat kebahagiaan itu, putuskanlah, kebahagiaanmu lebih bernilai dari sebongkah emas. Selagi kau masih mampu, akan selalu ada yang bisa kau kerjakan.
Karyawan itu hanya mengangguk, senyum lebarnya menghadirkan satu kepuasan yang kudapat. Dahulu aku pernah merasakan pahit, tetapi biarlah, jangan sampai aku menjadi tokoh antagonis setelah berhasil melalui peran protagonis dalam hidup.
Karyawan itu pun berlalu, ia menutup pintu. Aku membuka kembali foto almarhum anakku.
Selesai...
Jum'at 13 Mei 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H