Rekan kerjaku yang lain memandang iba ke arahku. Dari tatapnya kurasakan empati sesama pekerja.
"Tapi pekerjaanmu belum selesai, kamu selesaikan saja dulu." Ujar atasan yang mungkin tak pernah mengenal kata empati.
Rekanku yang tadi sempat rehat bersamaku menghampiriku. Merangkul seraya berkata. Sabarlah, kamu harus sabar.
"Pak, anaknya Joni meninggal, masa bapak mau paksa dia terus kerja. Gimana si?" Ujar Ridwan, rekanku memang sangat mengerti.
"Yasudah, kalau kamu boleh pulang, tapi gajihmu saya potong ya."
Mendengar itu darahku naik. Orang macam apa yang ada dihadapanku ini? Tidakkah ia punya sedikit empati untuk orang lain?
"Tidak perlu, pak. Saya tidak perlu digajih. Mulai hari ini saya berhenti." Jawabku seraya meninggalkan perusahaan itu dengan hati yang panas.
Jadi, begitulah awal mula aku membangun bisnis ini, ujarku pada karyawanku yang bertanya apakah ia boleh cuti selama beberapa hari untuk menemani bapaknya yang sedang sakit keras.
"Dibolehkan, pak?" Tanyanya.
Aku mengangguk. Sebab bagiku, sebuah pekerjaan bisa ditangani oleh orang lain. Tetapi mengurus dan berada disamping orang kesayangan saat mereka membutuhkan, hal itu tidak bisa diwakili oleh siapapun.
Kita bekerja untuk membahagiakan orang-orang tersayang, tetapi jika pekerjaan kita justru menghambat kebahagiaan itu, putuskanlah, kebahagiaanmu lebih bernilai dari sebongkah emas. Selagi kau masih mampu, akan selalu ada yang bisa kau kerjakan.
Karyawan itu hanya mengangguk, senyum lebarnya menghadirkan satu kepuasan yang kudapat. Dahulu aku pernah merasakan pahit, tetapi biarlah, jangan sampai aku menjadi tokoh antagonis setelah berhasil melalui peran protagonis dalam hidup.