Bentala tak pernah mengeluh, meski rupa dan isi perutnya dikeruk setiap hari. Rambutnya yang hijau digunduli, diperkosa, diperas, dan diserakahi atas nama kemajuan dan perkembangan teknologi. Bahkan pagi ini, arunika yang muncul di ufuk timur sedikit membagi ceria dan membangkitkan eunoiaku.Â
Di seberang rumahku, dari balik jendela terlihat orang-orang berlalu-lalang. Hanya beberapa yang saling sapa, selebihnya tampak teburu-buru, satu dua yang lain berjalan sambil memandangi arlojinya.Â
Suara halus nan lembut mengajakku bermain, binar matanya menembus batinku, menyejukan sekujur tubuhku. Tangan mungilnya mengadah, memintaku untuk menimangnya. Wajahnya serupa dengan wajahku, begitu kata ibuku.
Dengan rasa sayang yang memuncak aku menimangnya, melagukan lagu-lagu yang menenangkannya. Suara tawanya yang khas membuat pagi ini menjadi lebih sejuk. Ah, benar-benar buah kasih yang mendamaikan.
Sementara, bapaknya si anak hanya sibuk meminum kopi yang kubuat. Hanya itu kegiatannya di pagi yang berulang. Terkadang aku merasa apakah ini ujian atas pernikahanku dan dia yang masih berusia muda. Pernikahan yang baru berjalan tiga tahun lamanya.Â
Dahulu, kupikir pernikahan itu akan indah untuk dijalani, tetapi hayal tak selalu berbanding lurus dengan kenyataan. Bukan berarti aku menafikan atau tak mempercayai hikmah-hikmah pernikahan yang luas dijelaskan di ayat-ayat dan Kalam keagamaan. Ini hanya seperti sebuah keluh kesahku saja sebagai seorang istri.Â
Seorang wanita yang mesti berjuang menghidupi anakku yang sedang lucu-lucunya. Tetapi kenapa laki-laki itu, ia yang dahulu dengan gagahnya menyatakan siap menikahiku, menafkahiku seakan-akan lepas begitu saja, ia menikmati hidupnya sendiri, apakah ia lupa ada darah dagingnya yang mesti ia urusi dan nafkahi? Atau ini memang caranya mengelola rumah tangga, dengan bersikap santai begitu saja seperti seorang bujangan.
Si kecil akhirnya mengerti, pagi ini ibunya harus mendiamkannya di pembaringan, setidaknya sampai urusan rumah selesai. Memasak, menyapu, mencuci, dan menjemur pakaian.Â
Si kecilku yang belum mengerti apa-apa, saat tidur wajahnya tetap menjadi semangat di pagi ini. Menjadi sinar di tengah gelap wajah bapaknya.Â
Selepas urusan rumah selesai, aku harus segera berangkat ke sekolah, menuntaskan tugas sebagai pengajar. Di rumah aku mengurus anak sendiri, di sekolah aku mengurus anak orang lain. Tetapi bagaimana? Segelap apapun hatiku, mesti saja selalu aku menyembunyikannya.Â
Di ruang guru, aku menyapa satu per satu pengajar yang lain. Seperti biasa, melempar basa-basi, ikut dalam perbincangan soal urusan dapur, mengomentari harga bahan dapur yang kian naik. Menggunjingkan murid-murid yang agak nakal dan susah diurus. Hal itu setidaknya dapat menenangkan sedikit gelap hatiku yang ku sembunyikan di lemari rumahku.
Ruang kelas seperti biasa, ramai dengan murid-murid yang beraneka ragam. Dan sikapku pun seperti biasa, memberikan materi, memastikan semua muridku menerima dengan baik, memberikan tugas dan kembali ke ruang guru.Â
Sialnya, di jam itu hanya ada aku di ruang guru. Guru-guru yang lain sedang bertugas di dalam kelas. Terlintas dalam pikirku bayang-bayang anakku. Tak tega rasanya setiap hari seperti ini, meninggalkannya walau hanya beberapa jam saja.Â
Ya, bapaknya memang ada di rumah, tetapi ia tak begitu peduli pada anaknya. Ia lebih sibuk bermain game online saja. Tak jarang bapaknya si kecil menelpon karena tak sanggup mendengar tangisannya.Â
Jam ngajarku telah tuntas, aku pun segera kembali ke rumah. Satu-satunya alasan yang membuatku kembali ke rumah itu adalah anakku. Hanya dia, ya! Hanya dia. Bukan karena bapaknya. Melihat wajahnya saja api di hatiku membara.
Saat malam tiba, aku biasa mengajar mengaji anak-anak kecil di rumahku. Biasanya ada satu dua muridku yang membantu mengurus si kecil. Menganggapnya seperti adik mereka sendiri. Aku cukup bahagia di jam-jam seperti ini.
Jujur saja, aku menulis kisah ini dengan tangis yang terus mengalir, dengan batin yang bergejolak terus menerus. Pernah di suatu malam aku berbincang dengan ibuku terkait masalah ini. Ia wanita dan aku pun wanita. Ibuku pun merasakan hal sama ketika aku menceritakan tentang keseharian suamiku. Bahkan ia pun agak merasa sedikit tidak suka dengan sikap santainya, dan sikap kekanak-kanakannya.
"Emang begitu kalau berumah tangga, kita yang perempuan harus kuat-kuat hati kalau punya suami sikapnya seperti itu."
"Tapi, mah. Masa sih dia nggak mikirin anaknya. Nggak apa-apa dia nggak mikirin aku, yang penting si kecil dipikirin. Ini apa? Si kecil nangis sedikit aja udah bete mukanya. Aku tuh nggak kuat lama-lama begini. Kalau bukan karena si kecil, bukan karena anak, aku rasanya udah mau pisah aja."
"Sabar, mamah ngerti. Tapi kamu harus tetep sabar. Mamah juga nggak suka dengan sikap santainya, tapi mudah-mudahan saja sikapnya bakal berubah."
"Mudah-mudahan saja mah."
Aku sudah coba berdialog dengan laki-laki itu, dengan suamiku, dengan terpaksa aku mengakuinya.
"Bang, apa nggak ada kepikiran cari kerjaan yang cukup?"
"Emangnya cari kerja gampang? Ini juga lagi usaha nyari. Sambil nyari sambi ngegojek."
"Ya ngojek juga sebenarnya lumayan bang, tapi aku lihat Abang kaya nggak ada usaha nyari, cuma diem aja di rumah. Ngojek juga malas-malasan. Aku ngomong gini bukan berarti aku nuntut Abang buat ngasih aku uang makan yang banyak, bukan bang. Setidaknya buat si kecil lah bang. Buat beli susu dia. Kalau cuma ngandelin honor ngajar di sekolah, berapa besarnya si bang? Itu aja bang."
"Iya ntar nyari kerja, kamu doain aja biar dapet. Jangan ngomel mulu."
"Doain mah setiap hari bang, yang penting Abang ada usahanya."
"Sabar aja, emang rejeki kita lagi segini. Mau usaha kaya apa juga kalau Allah ngasih segini ya segini."
"Abang udah usaha belum? Kalau Abang udah usaha aku terima bang. Tapi kenyataannya kan Abang cuma nyantai-nyantai aja. Capek aku bang, harus ngurus anak, ngurus rumah, belum lagi urusan di sekolah. Capke bang."
"Yaudah kalau capek, berhenti aja ngajar. Susah amat."
"Kalau aku berhenti, bayar listrik rumah gimana? Beli susu sama makan sehati-hari gimana? Kalau Abang kerja juga aku mau fokus aja ngurus rumah sama si kecil. Aku begini tuh ya karena Abang itu nggak ada rasa tanggung jawabnya bang."
"Sabar, sabar, ini ujian nikah. Aku bukannya malas, ya emang belum ada kerjaan. Ngojek juga kan kamu tau sendiri sekarang, udah banyak saingannya. Syukurin aja "
Ya, begitulah. Selalu dikelmbalikan lagi pada takdir. Lagi-lagi takdir yang dikambing hitamkan atas kemalasannya. Aku tahu soal itu, soal rejeki dan segala macam. Tetapi semua mesti ikhtiar bukan? Dan bukankah dalam agama si laki-laki harus benar-benar berjuang menafkahi anak dan istrinya? Begitu bukan?Â
Tiba-tiba saja, saat perbincangan itu terjadi, si kecil menangis kencang. Seakan mengerti apa yang dibicarakan bapak dan ibunya. Ah, luluh seketika hatiku.Â
"Nak, untung saja ada kamu." Ujarku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H