Ruang kelas seperti biasa, ramai dengan murid-murid yang beraneka ragam. Dan sikapku pun seperti biasa, memberikan materi, memastikan semua muridku menerima dengan baik, memberikan tugas dan kembali ke ruang guru.Â
Sialnya, di jam itu hanya ada aku di ruang guru. Guru-guru yang lain sedang bertugas di dalam kelas. Terlintas dalam pikirku bayang-bayang anakku. Tak tega rasanya setiap hari seperti ini, meninggalkannya walau hanya beberapa jam saja.Â
Ya, bapaknya memang ada di rumah, tetapi ia tak begitu peduli pada anaknya. Ia lebih sibuk bermain game online saja. Tak jarang bapaknya si kecil menelpon karena tak sanggup mendengar tangisannya.Â
Jam ngajarku telah tuntas, aku pun segera kembali ke rumah. Satu-satunya alasan yang membuatku kembali ke rumah itu adalah anakku. Hanya dia, ya! Hanya dia. Bukan karena bapaknya. Melihat wajahnya saja api di hatiku membara.
Saat malam tiba, aku biasa mengajar mengaji anak-anak kecil di rumahku. Biasanya ada satu dua muridku yang membantu mengurus si kecil. Menganggapnya seperti adik mereka sendiri. Aku cukup bahagia di jam-jam seperti ini.
Jujur saja, aku menulis kisah ini dengan tangis yang terus mengalir, dengan batin yang bergejolak terus menerus. Pernah di suatu malam aku berbincang dengan ibuku terkait masalah ini. Ia wanita dan aku pun wanita. Ibuku pun merasakan hal sama ketika aku menceritakan tentang keseharian suamiku. Bahkan ia pun agak merasa sedikit tidak suka dengan sikap santainya, dan sikap kekanak-kanakannya.
"Emang begitu kalau berumah tangga, kita yang perempuan harus kuat-kuat hati kalau punya suami sikapnya seperti itu."
"Tapi, mah. Masa sih dia nggak mikirin anaknya. Nggak apa-apa dia nggak mikirin aku, yang penting si kecil dipikirin. Ini apa? Si kecil nangis sedikit aja udah bete mukanya. Aku tuh nggak kuat lama-lama begini. Kalau bukan karena si kecil, bukan karena anak, aku rasanya udah mau pisah aja."
"Sabar, mamah ngerti. Tapi kamu harus tetep sabar. Mamah juga nggak suka dengan sikap santainya, tapi mudah-mudahan saja sikapnya bakal berubah."
"Mudah-mudahan saja mah."
Aku sudah coba berdialog dengan laki-laki itu, dengan suamiku, dengan terpaksa aku mengakuinya.