Aku tak kehabisan akal, ku lihat di sisi lain kasur ada tumpukan baju, di atasnya ada setrikaan. Kuraih itu, kupakai ujung setrikaan itu untuk menghantam kepal pria tua itu. Sial! Ia menahannya dengan bantal. Ia melawan kali ini. Ah, tubuh yang habis menenggak beberapa botol minuman itu lemah sekali. Kenapa aku bisa tersungkur dengan mudahnya.Â
Istriku berteriak sekuat-kuatnya, meminta tolong. Ingin rasanya kugampar wanita itu, tetapi aku tak mampu. Ya, bagaimanapun aku masih mencintainya.Â
Para tetangga rumah mulai masuk ke dalam rumahku, merespon teriakan keras istriku itu. Ah, bodoh. Bukankah dia yang akan malu kalau begini. Beberapa orang mulai memegangiku. Menahanku sekuat mungkin. Seingatku ada tiga orang yang memegangiku. Memintaku untuk beristighfar, beberapa yang lain terdengar berteriak "Eling Mas Karto, eling!"Â
Tubuhku makin lama lemas juga. Akhirnya aku jatuh terduduk. Air mataku tumpah ruah. Kekecewaan telah mengalir bersama air mata itu. Wanita yang kucinta itu, yang setiap pagi menyajikan kopi untukku, ya setiap pagi. Bahkan gelas kopi pagi tadi masih ada di darpur. Ternyata menghianatiku.Â
Beberapa orang yang lain tampak menyeret pria tua itu keluar, ramai suara sorak mencemooh mengiringi. Beberapa ada yang hendak melajukan tinjunya, tetapi ditahan oleh yang lain. Istriku, ia menangis tersedu-sedu sambil memeluk erat jam tua yang sempat ku lempar ke pria tua itu.
Tak lama ketua RT setempat tiba di rumahku. Mencoba menengahi persoalan ini. Ia menanyaiku, istriku, dan pria tua itu. Bagaimana baiknya. Hal tak terduga lagi-lagi terjadi. Saat ditanya tentang kelanjutan hubungannya denganku, istriku lebih memilih cerai dan ingin menikah dengan pria tua itu. Ia bilang kalau ia tak kuat dengan sikapku yang hobi berjudi dan minum-minuman keras. Tak terima dia bilang begitu, aku mencoba melawan. Kukatakan, betapa bejatnya aku, tak sampai main perempuan. Tetapi perempuan yang kucinta itu tetap tidak memilihku. Pria tua itu lebih menarik baginya. Katanya, sikap pria itu begitu ramah, tutur katanya halus, selalu berpakaian rapih, murah senyum dan taat agama. Aku agak tergelitik di bagian akhir. Taat agama? Mana ada manusia taat yang hobi nidurin istri orang? Ah, dunia memang begitu gila rupanya.Â
Pagi itu juga, jam lima kira-kira. Istriku kembali ke rumahnya. Di antar tetangga sebelah. Pria tua itu masih dihujam pertanyaan ketua RT. Ia mengaku bahwa sudah lama ia menjalin hubungan itu. Semula hanya sekedar hubungan antar tetangga, mulai dari menyapa dan bercanda sewajarnya. Tetapi lama-lama perasaan itu mulai tumbuh. Dan dia bilang, kalau soal meniduri, itu baru sekali. Itu pun khilaf katanya. Ah, sudah begini baru bilang khilaf. Dan dia pun mengakui bahwa ia juga ingin menikahi istriku. Dasar gila! Seperti tak ada perempuan lain saja. Kenapa harus istriku? Kenapa tidak istri orang yang lain saja?
Ayam jantan sudah berkokok sejak pertama kali aku tiba di rumah. Dan kini cahaya Surya mulai merasuk lewat sela-sela jendela. Pikiranku sudah agak tenang. Orang-orang mulai meninggalkan rumahku. Pria tua sialan itu juga telah tiada, ke rumah sakit katanya. Mengobati luka dari hantamanku tadi.Â
Aku masih diselimuti kedengkian, serupa mendung yang gelap. Badai itu makin berkecamuk. Terapi kupaksakan untuk reda dengan cepat. Aku terlelap. Tubuh dan hati yang kalap itu kuistirahatkan sesaat.
Esoknya aku mulai mengurus perceraian. Hari demi hari kulewati, hingga perceraian itu benar terjadi. Kini wanitaku benar-benar pergi.
Mataku masih juga terjaga, tak terasa air mata ini pun tumpah. Jam tua itu benar-benar menggangguku. Seiring detiknya berlalu, semakin membuka mata dan pikiranku. Akulah sebab dari perceraian itu. Selama ini aku bukan mencinta istriku, tetapi hanya mencintai diriku sendiri, mengikuti ego dan ambisi. Aku hanya terus memaksanya disisku karena ambisi dan egoku, bukan karena cintaku. Aku telah kalah, kalah dengan ego dan nafsuku. Jam tua ini benar-benar menggangu.