Tik, tak, tik, tak! Jam itu benar-benar mengusik waktu istirahatku. Sudah dua malam ini aku kurang istirahat. Malam ini aku harus benar-benar istirahat. Pasalnya esok pagi aku harus segera sampai di kota Bogor untuk menghadiri pernikahan kawanku. Tetapi jam tua itu kenapa tak mau mengerti, ia terus bersuara, seakan tak peduli dengan sekitarnya. Benar-benar menyebalkan!
Rasa kantuk itu sudah benar-benar tak bisa ditahan, namun mata ini tak jua mau jatuh dan terkatup. Ia masih juga tegar memandangi langit-langit yang di sudut-sudutnya sudah penuh dengan sarang laba-laba.Â
Mitos yang beredar kalau kita tidak bisa tidur, katanya sedang ada yang memimpikan kita di luar sana, tetapi aku kurang percaya dengan mitos itu. Aku lebih percaya kalau suara jam tua itu yang membuatku susah tidur. Lagipula apa hubungannya diimpikan orang dengan tidak bisa tidur? Tidak masuk akal.
Tik, tak, tik, tak! Jam itu semakin mengganggu saja. Aku menyerah, kubangkitkan tubuh yang sudah remuk dimakan siang ini. Kujatuhkan pantatku di atas kasur, memandangi jam tua yang lusuh itu. Jarum detiknya berjalan lambat. Lambat sekali, ia seakan mengajakku untuk menghitung sisa waktuku, atau mengajakku kembali pada ingatan itu.
Ah, Jam itu benar-benar mengganggu. Bukan hanya suara detiknya, bahkan ingatan yang tersimpan dalam tubuhnya itu benar-benar menggangguku. Tiap bunyi detiknya menghantarkan ratusan sengatan yang menyerang saraf kepalaku, merobek memoriku, lalu menghantam jantungku.
Jam tiga malam, saat bulan tengah sedikit bergeser ke arah barat. Aku baru saja pulang dari tempat perjudian. Aku kalah telak malam itu, motorku sampai kujadikan taruhan. Malam itu keberuntungan tengah lari dariku. Lebih dari tiga botol minuman habis kutenggak sendiri. Itu yang membuatku muntah di depan pintu rumahku. Di sana, di tempat perjudian aku sudah habis dihina karena kalah melulu. Ditertawakan habis-habisan.
Rasanya, sesampainya di rumah, aku ingin segera menjatuhkan tubuh ini di atas kasur sambil memeluk istri kesayanganku. Walaupun sedang mabuk, gejolak nafsuku masih tetap sadar seperti biasa. Namun sial, nasib buruk masih belum berhenti. Saat aku masuk ke dalam rumah, kulihat istriku sedang tidur bersama seorang pria tua pemilik kontrakan sebelah. Mereka tengah memadu cinta, ah tidak, mereka telah selesai. Bau kenikmatan masih tercium dari sisa keringat mereka. Dan kini mereka tengah asik tertidur. Dasar bedebah karbitan, mau garong istri orang tapi tak tau cara main. Kenapa bisa sampai ketiduran? Lupa dia kalau wanita yang tengah dipelukannya itu adalah wanita bersuami.Â
Dalam kondisi mabuk aku kalap, emosi yang sejak di meja judi sudah menyala semakin membara. Ia bahkan membakar apa saja yang ada di dalam hati dan pikiranku. Hanya menyisakan kebencian dan kemarahan yang menggebu-gebu. Tak perlu lama, hanya sepersekian detik, sebuah foto yang semula menempel di dinding telah hinggap di kepala pria tua itu.Â
Pria itu segera sadar, tubuh tuanya bergetar, matanya yang layu itu tak berani menatapku. Ia serupa anak anjing liar yang terlantar dan berharap dikasihani. Dan wanita sialan itu, wanita yang sudah lebih dari lima tahun menemani dan hidup bersamaku, ia juga bangkit. Matanya terkejut, bahkan mulutnya sampai tak mampu menyebutkan namaku. Brengsek!Â
Aku masih belum puas, segera tanganku mengais apa saja yang bisa kujadikan alat untuk menghabisi pria tua itu. Seluruh foto di dinding telah berpindah ke muka pria itu, pecahan kaca itu kuambil kembali. Tangan istriku menahanku.Â
"Cukup Mas Karto, cukup." Teriak istriku histeris. Wajahnya telah basah dengan air mata ketakutan.