Dalam kehidupan ini masyarakat tanpa kecuali harus menaati dua macam hukum secara bersamaan. Dalam kapasitasnya sebagai warga negara, mereka wajib taat terhadap hukum negara di mana mereka hidup. Demikian pula dalam kapasitasnya sebagai pemeluk sebuah agama, katakana saja sebagai Muslim, mereka wajib taat terhadap ketentuan-ketentuan syariat yang berlaku. Pemberlakuan kedua hukum itu, tanpa kecuali, berlaku bagi pengusaha, para pengusaha, maupun masyarakat pendukung wisata. Karena pada prinsipnya mereka adalah sama di muka hukum, dalam arti, tidak ada diskriminasi antara yang satu dengan yang lain.
      Perlu dipahami, tidak jarang perkembangan hukum kalah cepat dengan dinamika sosial kemasyarakatan sehingga tidak jarang terjadi kevakuman hukum di tengah masyarakat tentang sebuah objek hukum. Kendati dikatakan bahwa fungsi hukum antara lain adalah sebagai instrumen untuk merekayasa sosial masyarakat (social engineering), tetapi di sisi lain hukum juga harus peka terhadap kebutuhan hukum masyarakat.
      Pertanyaan yang perlu dikemukakan adalah apakah hukum (peraturan perundangan) yang berkaitan dengan masalah wisata halal telah tersedia. Sementara perkembangan industri wisata berdasarkan prinsip-prinsip syariah saat ini mulai menarik perhatian para wisatawan Muslim di berbagai kawasan, sehingga perlu dikelola secara sungguh-sungguh dan professional. Oleh karena itu, dengan mencermati fenomena yang terus berkembang saat ini, baik di tingkat lokal maupun global, yang menjadikan destinasi halal tourism sebagai alternatif baru adalah komunitas Muslim untuk berwisata sehingga perlu digali landasan yuridisnya dalam prespektif Islam.
      Sejatinya di tahun 2016 telah lahir sebuah fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI Nomer 108/DSN-MUI/X/2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata berdasarkan prinsip syariah yang menjadi landasan standarisasi aspek-aspek wisata halal. Namun nampaknya fatwa ini masih belum final dan masih butuh penyempurnaan sehingga ke depan masih diperlukan produk ijtihad baru guna untuk memenuhi kebutuhan masyarakat luas.
      Tentu saja ijtihad baru tersebut sejalan dengan perkembangan wisata halal itu sendiri untuk menjamin kepastian hukum dunia kepariwisataan. Secara bahasa, ijtihad berarti bersungguh-sungguh, mencurahkan pikiran, menghabiskan kesanggupan. Sedangkan secara istilah diartikan dengan mencurahkan kesanggupan yang ada dalam membahas suatu masalah untuk mendapatkan suatu hukum yang sulit bertitik tolak pada Kitab dan Sunnah. Atau, dengan kata lain, ijtihad adalah merupakan usaha merumuskan garis-garis atau kaidah-kaidah hukum yang pengaturannya tidak terdapat di dalam kedua sumber utama hukum Islam.  Â
      Dalam hukum Islam dikenal beberapa metode untuk melakukan ijtihad, baik yang dilakukan secara individual maupun kolektif sebagaimana yang dilakukan oleh DSN-MUI. Di antara metode di maksud adalah Ijma', qiyas, istidal, al-masalih al-mursalah (maslahat mursalah), istihsan, istishab, dan 'urf.  Â
      Jika sekiranya kedepan, wisata halal perlu dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pariwisatawan Muslim agar tidak hanya mengunjungi wisata konvensional, maka dengan demikian, dasar pertimbangannya adalah untuk menciptakan kemaslahatan umum. Untuk itu, metode ijtihad yang dapat digunakan adalah maslahah mursalah.  Â
      Karena itu, dengan adanya wisata halal, maka diharapkan para wisatawan Muslim, dalam memenuhi kebutuhan rekreasinya, tidak terjebak kedalam destinasi wisata yang seringkali kontroversi dengan prinsip-prinsip syariah. Inilah yang dimaksudkan perlu adanya produk hukum baru dalam dunia kepariwisataan agar kemaslahatan masyarakat bisa terwujud. Karena bagaimanapun hukum harus memenuhi perkembangan dunia kepariwisataan seperti wisata halal yang memulai banyak diminati.
Peraturan Perundangan
      Indonesia memiliki sebuah potensi besar untuk menjadi sebuah pusat pariwisata halal di skala global karena Indonesia memiliki keindahan alam, beragam kebudayaan dan populasi umat muslim yang terbesar di dunia. Kementerian Pariwisata Republik Indonesia melakukan usaha-usaha dalam mempromosikan Indonesia sebagai pusat suatu destinasi pariwisata halal, hal ini layak untuk diapresiasi. Namun dalam mengembangkan pariwisata halal ini tidak hanya melakukan promosi secara masif saja untuk mengejar posisi di skala global, tetapi harus juga didukung dengan sebuah regulasi yang kuat sebagai pedoman untuk melangkah atau mengembangkan. Dari sisi regulasi ini, pariwisata halal di Indonesia tergolong lemah karena tidak adanya aturan yang mengaturnya secara spesifik baik dalam bentuk Undang-Undang maupun pada Peraturan Menteri.
      Aktivitas wisata halal sampai saat ini berdasarkan pada Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan. Undang-Undang ini mengatur tentang kepariwisataan secara umum, dan tidak mencantumkan peraturan pariwisata halal. Menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan tersebut, pariwisata adalah "berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah dan Pemerintah Daerah." Meskipun dalam pasal tersebut tidak dicantumkan kata pariwisata halal, tetapi kalau kita cermati pada bagian kata "berbagai macam kegiatan wisata" terdapat ada identifikasi bahwa diperbolehkan melakukan kegiatan pariwisata halal yang berlandaskan prinsip-prinsip syariah.