Sebaliknya tentang muamalah yang membicarakan aktivitas hubungan antara manusia secara horizontal (habl min al-nas), karena biasanya yang diajarkan terbatas yang pokok-pokok saja, sehingga bersifat terbuka. Artinya, banyak ruang atau pintu masuk untuk dilakukan tinjauan ulang sesuai kebutuhan melalui pintu ijtihad atas dasar asas umum yang berlaku bahwa pada dasarnya semua perbuatan boleh dilakukan, kecuali ada perintah yang melarangnya. Inilah sisi perbedaan dengan perbuatan ibadah yang bersifat tertutup.
      Di antara contoh mengenai muamalah itu adalah pengembangan destinasi wisata halal yang saat ini mulai banyak dikembangkan kendati belum ada ketentuanya secara tegas, baik dalam Al-Qur'an maupun Sunnah. Dengan demikian jika dikaitkan dengan al-ahkamah al-khamsah, maka termasuk dalam kategori ja'iz, (mubah-ibahah). Artinya destinasi wisata halal itu mengandung kebebasan, apakah akan dilakukan atau tidak, sangatlah tergantung kepada siapa pun yang akan melakukannya. Namun demikian, sebagai konsekuensi dari predikat halal itu sendiri, bagaimanapun atmosfer dunia wisata halal tidak selayaknya jika berseberangan dengan ketentuan syariah Islam. Jika berlawanan, maka kata halal itu sendiri tidak akan mempunyai makna apa pun.   Â
      Di dalam fatwa, khusus mengenai ketentuan hukum, dipertegas lagi, bahwa jika penyelenggaraan pariwisata yang sudah jelas berdasarkan prinsip syariah, maka boleh dilakukan dengan syarat mengikuti beberapa ketentuan yang telah di fatwakan. Artinya, jika sekiranya terjadi hal yang bertentangan dengan apa yang difatwakan, maka sama halnya dengan menentang prinsip-prinsip syariah sebagaimana mestinya, yang pada akhirnya akan berujung pada larangan (haram) untuk dilakukan.
      Karena itu dalam kaitan ini, menurut Fahad Salim Bahammam, berpergian (berwisata) adalah merupakan sebuah sarana yang hukumnya berdasarkan tujuannya. Artinya jika tujuannya adalah untuk kewajiban, maka wajib untuk melakukannya, seperti menunaikan haji bagi yang belum pernah menunaikan.Â
Tujuan Utama Hukum Islam (Peranan Syariah Islam)
      Kehadiran sebuah hukum, baik produk manusia maupun Tuhan (syariat-agama) pasti mempunyai tujuan untuk mengatur kepentingan manusia, baik dalam hubungannya dengan dirinya sendiri, orang lain maupun dengan lingkungannya. Tegasnya, kehadiran hukum adalah untuk menjamin kepastian hukum yang dapat menjamin keamanan, kenyamanan, ketenangan dalam hidup bermasyarakat. Namun demikian perlu dipahami bahwasanya ada sisi perbedaan yang sangat mendasar sekali antara kedua produk itu, di mana hukum hasil rekayasa manusia hanyalah sebatas mengatur perilaku manusia di dunia semata. Hukum manusia tidak akan mampu menjangkau dan menjelaskan bagaimanakah sejatinya hidup setelah mati di alam fana ini.
      Sedangkan hukum Tuhan yang dikenal dengan sebutan syariah, tidak saja menjangkau masalah kehidupan di dunia semata, namun juga bagaimana sebenarnya kehidupan di akhirat kelak. Islam mengajarkan ada kelanjutan kehidupan setelah kehidupan dunia yang hanya sementara ini. Bahkan diajarkan pula, bahwa kebahagiaan hidup akhirat yang abadi akan sangat ditentukan oleh perilaku setiap diri manusia selama hidup di dunia. Artinya, secara syar'i, kepatuha  seseorang terhadap ketentuan syariat akan menjadi faktor penentu keslamatan yang bersangkutan di akhirat kelak. Itulah ajaran Islam kepada umat manusia secara universal.
      Dengan kata lain, tujuan hukum Islam adalah untuk kemaslahatan hidup manusia, baik jasmani maupun rohani, baik individu maupun social. Atau, kemaslahatan yang tidak hanya untuk kehidupan di dunia saja, namun juga untuk kehidupan akhirat kelak. Dalam kaitan ini, Abu Ishak Al-Shatibi (m.d. 790/1388) telah merumuskan lima tujuan hukum Islam, yakni agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, yang pada akhirnya disepakati oleh ilmuwan hukum Islam yang lainnya.Â
      Para ulama salaf dan khalaf tidak pernah  bersilang pendapat, bahwa setiap hukum syariah pasti memiliki alasan ('illah) dan juga tujuan (maqashid) pemberlakuannya. Tujuan dan alasanya adalah untuk membangun dan menjaga kemaslahatan manusia. Ibn Qayyim Al-Jawziyyah sebagaimana yang dikutip Jasser Audah, menyatakan bahwa syariah adalah suatu hikmah dan tercapainya perlindungan bagi setiap orang dalam kehidupan di dunia dan akhirat.
      Namun demikian perlu dipahami bahwa kemaslahatan yang diharapkan dalam Islam, tidaklah sebatas untuk individu atau komunitas tertentu, namun juga untuk seluruh umat manusia secara universal, kapan pun dan dimana pun saja. Inilah sejatinya yang dimaksud bahwa ajaran Islam merupakan rahmatan lil 'alamin bagi seisi alam kehidupan.