Mohon tunggu...
Ilham Khaliq
Ilham Khaliq Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

asal Tangerang.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Dinamika Politik dari Kekuatan Pemusnah Massal

20 Desember 2021   13:23 Diperbarui: 23 Desember 2021   17:48 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penyebaran proliferasi senjata nuklir adalah isu sensitif dalam politik internasional, mengingat sifat senjata itu sendiri sebagai senjata pemusnah massal, penolakan sipil dan politik interasional yang meluas, serta intervensi serta dominasi politik kekuatan nuklir yang sudah lebih dulu ada sebelumnya. 

Di satu sisi inisiator proliferasi non-NPT menyatakan bahwa perjanjian itu bersifat munafik dan tebang pilih dalam penerapannya serta keberadaan senjata nuklir adalah kepentingan pertahanan dan kedaulatan nasional, sedangkan di sisi lain kekuatan nuklir NPT menekankan kontrol yang kuat dan penekanan kemungkinan terjadinya konflik nuklir -- dan dalam beberapa hal, membawa alasan pengurangan senjata nuklir adalah diharuskan demi menjaga stabilitas politik internasional dan ketahanan perdamaian manusia. 

Aktivis non-proliferasi (atau sekaligus aktivis anti-nuklir) pada umumnya menolak kedua belah pihak atas alasan "egoisme geopolitik" dan tetap menekankan atas memusnahkan dan meninggalkan teknologi senjata nuklir sama sekali.

Terlepas dari status awal pemilik senjata nuklir, kepemilikan senjata nuklir akan memberikan manfaat politis yang lebih -- terutama di bidang geopolitik. 

Dalam hubungan internasional, negara harus memiliki daya agar bisa memliki posisi, yang mana daya itu bisa berupa ekonomi, budaya, dan yang paling tradisional -- militer. 

Hal ini lah yang membuat isu senjata nuklir senantiasa sensitif dalam urusan hubungan internasional: kepemilikan senjata nuklir akan menjamin kelangsungan hubungan diplomasi (baik itu sekedar pertahanan diri sampai dominasi) si pemilik senjata tersebut dan hingga yang paling jauh -- melakukan isolasi terhadap target diplomasi tertentu.

Dalam sejarah senjata nuklir dalam politik dunia, kita tidak bisa mengabaikan peran Perang Dingin, di mana kedua adidaya pemilik stok senjata nuklir terbesar di dunia saat itu -- AS dan Soviet, saling bersaing dan berebut pengaruh di tatanan dunia baru pasca perang. Berbeda dengan kekuatan nuklir yang lain pada saat itu (dan yang kemudian), kedua adidaya ini senantiasa bersaing dalam urusan persenjataan nuklir -- yang sebagian beriringan satu sama lain. 

Sampai saat ini, hanya kedua negara ini yang baru melakukan persaingan persenjataan (arms race) nuklir di mana bila negara lain hanya memiliki sekitar ratusan hulu ledak nuklir, AS dan Soviet pada puncaknya memiliki lebih dari puluhan ribu arsenal hulu ledak nuklir dan telah menyebar ke seluruh benua (Mearsheimer 2001). 

Dimulai dari saling ketidakpercayaan satu sama lain paca kemenangan mereka dalam PD II akibat aktivitas spionase Soviet terhadap program senjata nuklir AS, dan didasari terhadap perbedaan ideologi yang sangat ekstrim, kedua mantan alisani tersebut mulai bergerak ke arah yang berbeda untuk saling melawan satu sama lain -- yang sebagian besar jatuh dalam konflik proksi: di mana kedua adidaya mendukung dua belah pihak yang berlawanan dalam suatu negara yang bertikai (Mearsheimer 2001). 

Hal ini terjadi karena adanya teori kepastian dua belah pihak yang dipastikan (mutually assured destruction -MAD) yang membuat kedua adidaya enggan untuk melakukan konfrintasi langsung kepada pihak lain -- dan mengalihkan target politik mereka kepada kekuatan yang lebih kecil. 

Kenyataan bahwa mereka adalah adidaya dengan kekuatan ekonomi dan militer dengan puluhan ribu hulu ledak nuklir membuat banyak negara tidak bisa banyak berkutik berada di bawah dominasi dan tekanan dari kedua belah pihak adidaya tersebut (Waltz 1979). Hal itu membuat sebagian besar negara-negara (terutama negara-negara yang baru merdeka dan negara dunia ketiga) pada saat itu sangat bertumpu terhadap sokongan dan dukungan dari kedua adidaya, baik itu dalam bentuk aliansi proteksi, bantuan keuangan, dan sebagainya -- yang mana sebagian besaer "program dominasi" tersebut masih bertahan hingga kini (misalnya seperti Pakta Pertahanan Atlantik Utara -- za, pertanggungjawaban pertahanan Korea Selatan dan Jepang oleh AS) (Waltz 1979)(Guertner 1990). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun