Akhir-akhir ini tengah ramai di perbincangkan soal stadion nan megah di utara Jakarta, Jakarta International Stadium biasa di singkat menjadi JIS. Stadion yang menelan biaya pembangunan hingga Rp4,4 Triliun meninggal kisah pilu bagi masyarakat kampung bayam yang  bermukim disekitaran area pembangunan tersebut.
Proyek JIS yang memulai pembangunan saat 2019, Memaksa sekitar 500 keluarga kampung bayam pindah, Sedangkan 50 keluarga lagi masih teteap bertahan demi menagih janji dari Pemprov DKI dan JAKPRO mengenai hunian pengganti permanen.
Beberapa yang menolak uang ganti rugi dan memilih bertahan, Mulai mendapat gangguan dari Proyek JIS, Air limbah proyek tersebut di buang ke selokan dan membanjiri kampung bayam. Warga sudah sering kali protes meminta JAKPRO agar air di alihkan ke sungai yang lebih besar, tapi hasilnya apa? Nihil.
Husni Namanya, ia membagikan cerita mengenai air yang selalu menggenangi kampung yang ia tinggali " Saya sudah 13 tahun tinggal di sini, tapi sekarang jadi tergenang air kaya gini gara-gara Pembangunan stadion. Mau siang atau malem air ga pernah surut" Ujar Husni
Jika melihat langsung kondisi kampung bayam, tempat ini lebih cocok disebut rawa di banding kampung. Tanpa menurun kan rasa hormat, Jalan disini digenangi air berwarna hitam pekat dan beraroma seperti air got. "ya meskipun gini, warga masih berusaha bertahan" Ujar pak Fadli
Saat malam kampung bayam juga tak seperti kampung-kampung pada umumnya, di balik kampung tersebut berdiri ribuan watt lampu sorot yang menerangi pemukiman bak sore menjelang maghrib, tidak hanya itu debu- debu proyek yang berjatuhan  ke atas atap rumah seperti hujan abu vulkanik.
Warga di kampung bayam juga kebanyakan saling akrab dan dekat, mereka suka bercerita satu sama lain atau bersendagurau Bersama saat malam hari, Husni mengungkapkan " Ya kita kaya gini karna tujuan kita sama, dapat ganti rugi dari pemprov".
Ada hal yang lebih menyedihkan lagi dari tempat ini, warga mengalami krisis air sejak PAM yang ada disekitar kampung bayam diputus secara sepihak pada bulan oktober tahun lalu. Warga tak punya banyak pilihan, salah satu sumur dijadikan sumber air untuk Bersama. Airnya berwarna agak coklat dan sedikit beraroma.
Untuk menangni soal masalah air bersih, biasanya Ketika sore hari ada beberapa tukang air bersih yang keliling kampung sambil menawarkan air bersih dengan harga Rp5.000.
Sudah hal biasa juga bagi warga kampung bayam jika rumah-rumah mereka tergenang oleh air, kebanyakan dari mereka menaruh puing- puing di dalam rumah agar menjadi tempat berpijak. Banyak dari warga kampung bayam yang terkena penyakit kutu air dan muntaber.
Kesehatan orang-orang yang ada di kampung bayam menjadi sangat renta, anak-anak yang sering kali jadi korban. Kebanyakan yang pindah dari kampung bayam karena menyerah dengan keadaan dan kondisi Kesehatan, yang pada akhirnya membawa mereka untuk pindah karena kampung bayam semakin tidak layak huni.
Dalam berbagai kegiatan penggusuran, hal-hal yang sama acap kali terjadi. Menemukan perasaan-perasaan sedih dari raut wajah warga sekitar sebagai korban ketidakadilan, semangat koklektif yang terbangun dengan sendirinya dan gotong royong sudah menjadi bagian dari realitas sosial masyarakat kampung bayam. Perampasan ruang hidup dan pengambilan tanah dengan paksaan adalah sebuah upaya pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H