Mang Deki, begitulah dia dipanggil, seorang penjual jasa perbaikan sepatu yang disebut tukang sol. Pagi buta sudah melangkahkan kakinya meninggalkan anak dan istrinya yang berharap, nanti sore hari mang Deki membawa uang untuk membeli nasi dan sedikit lauk pauk. Mang Deki terus menyusuri jalan sambil berteriak menawarkan jasanya. Sampai tengah hari, baru satu orang yang menggunakan jasanya. Itu pun hanya perbaikan kecil.
Perut mulai keroncongan. Hanya udara bekal dari rumah yang mengganjal perutnya. Mau beli makan, uangnya tidak cukup. Hanya berharap dapat memesan besar sehingga bisa membawa uang ke rumah. Perutnya sendiri tidak dia hiraukan.
Di tengah keputusasaan, dia berjumpa dengan seorang tukan sol lainnya. Wajahnya cukup berseri. "Pasti, si Abang ini sudah dapat uang banyak nich." pikir mang Deki. Mereka berpapasan dan saling menyapa. Akhirnya berhenti untuk bercakap-cakap.
"Bagaimana dengan hasil hari ini bang? He laris nich? " Kata mang Deki memulai percakapan.
"Alhamdulillah. Ada beberapa perbaikan orang sepatu. " Kata tukang sol yang kemudian diketahui namanya Bang Abel.
"Saya baru satu bang, itu pun cuma benerin jahitan."Â kata mang Deki memelas.
"Alhamdulillah, itu harus disyukuri."
"Mau disyukuri gimana, nggak cukup buat beli beras juga."Â kata mang Deki sedikit kesal.
"Justru dengan bersyukur, nikmat kita akan ditambah."Â kata bang Abel sambil tetap tersenyum.
"Emang begitu bang?"Â tanya mang Deki, yang sebenarnya dia sudah tahu harus banyak bersyukur.
"Insya Allah. Mari kita ke Masjid dulu, sebentar lagi adzan dzuhur. " kata bang Abel sambil mengangkat pikulannya.