Agenda Reformasi Birokrasi Belum Terwujud
Di Indonesia sendiri agenda reformasi birokrasi terwujud salah satunya melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 telah mencoba upaya untuk menciptakan konsep birokrasi yang netral dan bebas dari intervensi politik. Salah satu poin utamanya adalah manajemen ASN yang diselenggarakan berdasarkan merit system berdasarkan pada kualifkasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang poltik, ras, warna kulit, agama, asal-usul, jenis kelamin, status pernikahan, umum, atau kondisi kecacatan.
Manajemen ASN ini meliputi Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Seperti menurut Weber bahwa untuk mencapai tipe ideal birokrasi salah satunya dengan Setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasinva. Namun demikian dalam praktinya di sejumlah daerah di Indonesia masih kerap kali terjadi fenomena politisasi birokrasi yang tentu melenceng dari undang-undang tersebut.
Artinya terdapat kegagalan dalam implementasi akibat kurangnya pengawasan yang ada, sehingga regulasi yang ada tersebut belum mampu mengatasi persoalan netralitas birokrasi. Undang-undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010 tentang PNS belum sepenuhnya mewujudkan asas netralitas ASN juga dikarenakan terdapat beberapa pasal yang memberikan peluang terjadinya ketidaknetralan dalam pengambilan keputusan oleh pimpinan, sehingga kewenangan yang ada disalahgunakan.
Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) menerima 2.073 aduan dugaan pelanggaran netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) sejak tahun 2020 hingga 2022. Di mana sebanyak 1.605 ASN (77,5%) terbukti melanggar. Umumnya pelanggaranb tersebut sering terjadi dalam masa pemilihan kepala daerah dan/atau pemilihan umum.
Secara praktis, permasalahan politisasi birokrasi dapat terlihat dalam keterkaitan politis antara ASN dengan kepala daerah terpilih dalam proses penempatan jabatan yang tidak lagi berdasarkan pada kompetensi, namun lebih karena faktor marriage sistem bukan merit sistem seperti yang diatur dalam undang-undang.
Salah satu faktor yang pada akhirnya menuntut ASN tunduk pada segala arahan petahana meskipun hal tersebut melanggar netralitas adalah kedudukan kepala daerah tersebut sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) yaitu berwenang melakukan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian ASN. Hal inilah yang kemudian menjadi awal dari persoalan dalam pembentukan karakter seorang ASN, sehingga tujuan dari ASN yang memiliki independensi, objektivitas dan transparan dalam pelayanan publik menjadi sulit atau bahkan tidak dapat tercapai.
Dapat dikatakan bahwa konsep netralitas birokrasi, sulit sekali dan bahkan hampir tidak mungkin terwujud bila melihat konteks birokrasi di Indonesia. Selama ASN di Indonesia masih memiliki hak untuk ikut serta memilih calon pemimpin politik maka politisasi birokrasi masih sangat mungkin terjadi.
Sekalipun sejumlah regulasi telah dibuat dalam upaya reformasi birokrasi termasuk didalamnya terkait netralitas ASN, namun hal tersebut dalam praktiknya masih sulit untuk menghapus fenomena politisasi birokrasi yang khususnya seringkali terjadi terutama di daerah.
Kondisi politik dan birokrasi di Indonesia ini telah memicu sebuah paradoks dalam konsep birokrasi, yaitu bahwa mencoba mewujudkan netralitas birokrasi sementara para ASN terjebak dalam dilema oleh intervensi kepentingan politik yang ada. Â Politisasi birokrasi yang ada, pada akhinya memaksa para ASN untuk terlibat dalam kepentingan politik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI