"Iya. Salah satunya disebabkan oleh terus meningkatnya konservatifisme politik di kalangan kelas menengah. Ini menjadi sinyal negatif bagi demokrasi kita. Khususnya untuk Indonesia. Money politik merupakan bentuk kegiatan pengkerdilan. Bahkan parahnya, sudah seperti menjadi kurikulum wajib pada setiap penyelenggaraan pesta demokrasi. Sementara para pemilih kita terus-terusan dibius transaksi gelap ini.
Bahkan, pundi-pundi kegiatan ini justru banyak didistribusi dari sosok-sosok yang seharusnya menjadi panutan. Demokrasi tidak akan menghasilkan apapun, jika dalam prosesnya saja sudah diciderai, bahkan dibuat cacat. Para pemilih harus benar-benar tahu, selagi suaranya dihargai sampah, maka output produk-produk kebijakan orang yang membeli suaranya juga tidak akan jauh-jauh dari sampah".
     Tiba-tiba saja gadis tersebut menatap tajam mata pasangannya. Tanpa diduga sebelumnya, tetesan air mengalir deras di pipi gadis itu. Suasana sejenak berubah menjadi haru. Tatapannya berubah menjadi nanar. Namun amat disayangkan, yang mengalir bukanlah air mata, melainkan air yang tersembur dari bibir pasangannya saat bicara.
     "Kenapa, kok, tatapannya jadi berubah begitu?"
     "Tidak apa-apa. Pokoknya, semuamu aku jatuh cinta" jawab gadis tersebut,
     "Ha ha ha"
     "Terus!!!"
     "Terus?"
     "Iya"
     "Pemimpin yang lahir dari serangan fajar, kelak, kursinya akan jadi pasar. Jadi pantas, jika selama ini suara kamu tidak pernah didengar. Karena hak bicara kamu saja sudah dimahar. Jangan harap bisa menuntut ini dan itu lagi. Sebab, sesuatu yang sudah dibeli, otomatis itu sudah tidak lagi menjadi hak kamu. Kecuali kamu menolak untuk menjualnya. Itu perkara lain lagi. Dia tidak punya hak untuk menolak sebagai pelayan tuannya. Sebagai kepanjangan tangan suara yang telah diwakilkan ke padanya"
     "Lantas kapan pemilu bisa bersih?"