Sarmin sudah gundah sejak lama. Sebab, surau tempat dia menjadi imam, tak banyak didatangi orang. Dia heran karena setiap orang memang ada di rumah. Tapi mengapa ketika waktu salat tiba, suraunya hanya diisi segelintir orang.
Dia merasa, tak seperti ayahnya dahulu. Kala ayahnya menjadi imam surau, sangat banyak orang datang ke surau. Bahkan, anak kecil berlarian ke sana ke mari di masa itu. Memang kadang mengganggu, tapi justru anak-anak kecil itu yang kemudian mengenal surau.
Dia berusaha membujuk warga agar meramaikan suraunya. Pelan pelan dia mengungkapkan keinginannya agar warga meramaikan surau ketika salat sudah masuk waktu.
Sarmin bicara tak hanya saat nongkrong di pos kamling. Namun, dia juga sering meminta waktu saat arisan warga. Meminta waktu berbicara tentang jemaah surau.
Tapi tak kunjung banyak yang datang. Mereka yang ke surau hanya pria dan wanita yang sudah uzur. Sarmin merasa ada yang salah dengan warganya.
Sarmin merasa jengkel mengapa orang diajak ke jalan yang baik tak kunjung mau. Sarmin mulai meledak. Di forum warga dia mulai merasa perlu memberi penekanan yang bisa membuat warga menginjak surau.
"Aku heran, apakah banyak orang di sini tak pernah mendengar panggilan azan. Hingga yang menginjakkan kaki di surau hanya segitu-segitu saja," katanya.
Tak ada yang menjawab pernyataan Sarmin. Semua warga diam. Mereka merasa enggan menanggapi hal seperti itu. Pernyataan-pernyataan Sarmin makin hari makin keras. Sebab, banyak orang tak mau meginjakkan kaki ke surau.
"Neraka bagi mereka yang tak ke surau saat dengar suara azan," kata Sarmin sekenanya ngomong karena sudah jengkel dengan warga yang tak juga mau ke surau.
Begitu mulai ada kata neraka, ada warga yang ke surau. Bertambah yang ke surau.
"Kamu ke surau?" kata Ali.
"Ya," jawab Muin.
"Tumben ke surau?" tanya Ali.
"Aku tak enak sama Sarmin," jawab Muin.
"Kamu ke surau karena Tuhan atau karena Sarmin," tanya Ali.
Muin hanya menggelengkan kepala. "Tolong jangan bikin aku makin salah," kata Muin.
"Mengapa kamu tak juga ke surau?" tanya Muin.
"Aku merasa tak pernah nyaman ke surau milik Sarmin. Bukan suraunya yang membikin tak nyatam. Aku tak bisa menjelaskannya. Kau pasti juga merasakannya," kata Ali.
Muin mengangguk.
Setelah sempat naik jumlah jemaah, sepekan kemudian turunlah jumlah jemaah. Seperti sedia kala. Sarmin merasa sudah sangat jengkel dengan sebagian warga.
Jika sebelum waktu salat mulai, Sarmin berbicara soal neraka yang mengerikan melalui pengeras suara di surau. Tapi tetap tak ada yang ke  surau.
Kemudian, di RT sebelah, kabar berembus bahwa akan dibangun surau. Ternyata memang benar surau itu dibangun. Warga gotong royong membangun surau. Ketika surau sudah jadi, warga yang datang berjubel.
Bahkan, warga se-RT dari Sarmin ikut ke surau baru. Mereka berduyun-duyun ke surau saat waktu salat tiba.
Sarmin merasa teriris habis melihat banyak jamaah di surau sebelah. Yang lebih telak memukul, menantu dan cucunya juga menjadi jemaah aktif di surau sebelah.
Sejak surau sebelah terus ramai, Sarmin tak lagi bicara neraka. Tak lagi bicara tentang salat berjemaah. Dia lebih sering diam. "Ya Tuhan, apa salahku?" tanya Sarmin berkali-kali dalam hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H