Sebagai orang yang dihormati, banyak yang mulai berkeluh kesah padaku. Tentang ekspansi usaha Nono. Dia buka warung di mana saja.
Mulanya di desa sebelah dia buka warung yang besar. Yang pembelinya bisa mengambil sendiri barang yang dia beli. Sontak beberapa warung kelontong desa sebelah mulai menggerutu.
Kasno, datang ke rumahku. Dia curhat warungnya dan beberapa warung di desa sebelah akan gulung tikar. Karena Nono punya modal yang sangat besar.
"Orang-orang, anak-anak terutama, akan lari ke warungnya Nono," kata Kasno dengan geleng kepala dan air di matanya.
Kasno menarik napas panjang dan meminta bantuanku agar Nono menutup warungnya.
"Agak repot juga kalau meminta dia menutup warung," kataku.
"Dia tutup warung tak akan miskin. Mending dia tarung di kota, di tempat semua orang memiliki modal berlimpah," kata Kasno.
Aku tentu tak enak hati terang-terangan meminta Nono tutup warung. Tak mungkin juga aku melakukan itu. Siapa pula aku?
Tapi cerita pilu itu bertambah. Nono mulai buka warung di desaku. Bukan hanya satu warung, tapi dua warung sekaligus. Di titik barat dan timur. Semua warung yang lengkap dan pembeli bisa ambil sendiri barang yang akan dibeli.
Karman, Zul, dan Karto berulang kali menyampaikan gundahnya padaku. "Aku bisa gulung tikar kalau begini!" Kata Zul.