Wajah Hasan sangat merah. Dia jengkel dengan warung Nono yang serampangan mematikan usaha orang kecil. Tak hanya itu, istri Hasan datang ke rumahku.
Dia membawa anak kecilnya, keponakanku yang sudah beberapa hari sakit dan tak bisa ke dokter. Aku juga baru tahu. Aku benar-benar tak tega melihat keponakanku lunglai seperti itu.
Entah siapa yang menggerakkan tanganku. Mungkin rasa ibaku yang meletup-letup. Tanganku mengambil telepon genggam.
"Nono, 30 warung di beberapa desa. Aku yakin kamu tahu. Jika kau masih menghormatiku, tak usah kirim barang ke warungnya," kataku.
"Sampai kapan?" Tanya di balik telepon.
"Omonganku jelas. Jika kau masih menghormatiku, jangan kirim barang ke warungnya. Sebarkan ke semua orang-orangmu," kataku lalu menutup telepon.
***
Mungkin dan sepertinya pasti, Nono sudah tahu bahwa aku yang membuat usahanya oleng. Dia menghampiriku. Dia mencak-mencak.
"Kau licik, kau tak punya perasaan. Kau main tidak fair. Kau yang menghancurkan bisnisku! Laknat kau!" Katanya dengan suara tinggi.
"Kau beragama? Kau tahu kan jika rezeki sudah ada yang mengatur!" Kataku dengan gigi menekan. Aku ingat keponakanku lunglai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H