Aku merasa punya alasan lebih baik untuk protes pada Nono. Aku pikir Nono bisa untuk menutup warung di desaku. Ya karena ini desaku.
"Kamu orang beragama kan! Rezeki sudah ada yang mengatur!" Kata Nono dengan hentakan yang tak kusangka.
"Sudah ada semua rezeki. Jadi tak perlu khawatir jika aku buka banyak warung. Lagipula aku membuat banyak orang jadi dapat pekerjaan. Iya kan?" Tanyanya.
"Iya, tapi kamu berpotensi membunuh usaha orang kecil," kataku.
Dia menggebrak meja. Sesuatu yang tak pernah aku bayangkan. Apalagi kami adalah teman sepermainan saat kecil. "Rezeki sudah ada yang mengatur. Tuhan yang mengatur!" Katanya meninggi.
Aku mencoba cerita yang lain dan berusaha agar dia tak meledak-ledak. "Di kota sepertinya lebih prospektif. Kau bisa jual banyak barang di sana," katanya.
"Kau siapa?" Katanya dengan nada yang tinggi.
Ya sudahlah. Aku merasa tak enak hati. Tak enak juga dilihat orang lalu lalang, dihardik sedemikian rupa. Aku pulang saja.
***
"Kau kan orang yang sangat punya kuasa! Aku menuruti semua omonganmu. Meninggalkan yang gelap dan coba berusaha yang halal. Tapi aku diperlakukan seperti ini! Usahaku makin lama makin tenggelam. Modalku tipis. Saudara macam apa kau!" Kata Adikku, Hasan.
Memang aku yang menarik dia dari dunia gelap. Dia sumringah dengan usahanya yang bisa memenuhi perut keponakanku. Tapi kini semua memang berubah.