Basa basi adalah kebiasaan sebagian masyarakat, khususnya yang ada di desa. Kini, melalui media sosial, sebagian konten kreator melawan kebiasaan basa basi.
Mereka melawan kebiasaan basa basi dengan membuat video. Misalnya ada seseorang yang basa basi mempersilakan mampir ke rumah. Mempersilakan mampir ke rumah hanyalah basa basi. Tidak sungguh-sungguh mempersilakan mampir ke rumah.
Dalam komunitas masyarakat tertentu, mereka sudah paham bahwa basa basi mampir ke rumah hanyalah ujaran basa basi. Sehingga, yang mendapatkan tawaran mampir ke rumah harus menolaknya.
Lalu dalam konten video yang dibuat, mereka melawan kebiasaan itu. Caranya, yang ditawari mampir ke rumah, nekat mampir ke  rumah. Tentu saja membuat si yang punya rumah kaget karena sebenarnya itu basa-basa.
Basa-basi selanjutnya yang dilawan adalah adegan ketika si yang punya rumah menawarkan makanan dan minuman. Nah, dalam konteks basa-basi, maka si tamu akan bilang "jangan repot-repot". Maksud kalimat itu hanyalah basa-basi yang pada akhirnya si tamu juga makan dan minum yang disediakan.
Nah, dalam konten video "perlawanan" mereka buat konten video. Adegannya si yang punya rumah membawa makanan dan minuman. Lalu, si tamu bilang "jangan repot-repot". Dalam konteks basa-basi tentu saja kata "jangan repot-repot" hanyalah bas-basi. Tapi dalam video konten kreator, "jangan repot-repot" dimaknai sungguhan. Sehingga, si pemilik rumah menarik kembali makanan dan minuman yang akan disediakan.
Ada lagi yang melawan basa-basi di media sosial. Ceritanya, dalam konteks sebagian masyarakat, saling sapa adalah hal biasa. Bahkan, menyapa tentang hal yang harusnya tak ditanya. Misalnya, orang lagi menyiram tanaman ditanya, "Lagi nyiram tanaman ya pak". Dalam konteks basa-basi, maka biasanya dijawab "ya". Tapi dalam video "perlawanan" maka pertanyaan basa-basi itu dianggap tidak penting.
Saya hanya ingin mengatakan, bisa saja dalam satu masa nanti, masyarakat terbentuk pola perilakunya seperti yang tersebar di media sosial. Sebab, tak bisa dipungkiri HP pintar sudah menyebar sampai pelosok desa.
Konten-konten yang melawan kebiasaan masyarakat tertentu bisa saja diikuti sebagai kebiasaan baru. Bisa saja, karena melihat perlawanan terhadap basa-basi, ada yang menyimpulkan untuk memutuskan tak lagi berbasa-basi dan tak lagi menyapa antar sesama.
Kehidupan Baru
Terlepas dari contoh basa-basi yang saya ungkapkan di atas, media sosial telah dan akan terus menjadi pola pembentuk kehidupan yang baru. Â Media sosial dengan segala dinamikanya menjadi pegangan baru bagi anak-anak. Media sosial menjadi nilai yang dipegang yang bisa jadi mengalahkan guru dan orangtua.
Maka, jika pesan dari konten kreator tidak disampaikan dengan baik, bisa jadi penerima pesan akan menangkap dengan berbeda dan memberi reaksi di kehidupan nyata yang di luar dugaan.
Maka, sebenarnya menjadi konten kreator perlu kejernihan, kejelasan, dan sensitivitas. Sebab, jika semua yang dikreasikan hanya untuk mendapatkan keuntungan finansial, khawatirnya masyarakat sedang berada di depan jurang kenestapaan kemanusiaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H