Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pantura, Rob, Pilu, dan Denyut Kehidupan yang Melambat

15 Mei 2024   15:50 Diperbarui: 15 Mei 2024   16:11 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret pantai utara Jawa Tengah di Kendal. (kompas.com/slamet priyatin)

Aku ingin cerita padamu tentang pilu karena air laut itu. Air laut yang merangsek ke daratan di wilayah Pantura Jawa. Asin tak ketulungan dan memilukan. Memilukan dunia perekenomian. Itu potret yang aku tangkap di Kendal, Jawa Tengah.

Sebelum aku cerita padamu tentang rob, aku ingin mengatakan bahwa belasan tahun hidupku aku habiskan di area Pantai Utara Jawa Tengah, di Kendal. Sekalipun tak intens, tapi bau nelayan dan cerita-ceritanya aku mengetahui. Kerasnya hidup di daerah Pantura yang panas menyengat itu, aku ketahui. Bahkan kuketahui dengan mata kepalaku sendiri.

Bagi yang pernah hidup di Pantura Jawa dekade 80-an sampai pertengahan 90-an, kerasnya hidup di sana pasti tahu. Tak perlu aku ceritakan di sini.

Dulu, semasa SMA, aku beberapa kali mengayuh sepeda, mungkin sampai 10 kilometer untuk sampai ke bibir pantai utara. Bersama anak pamanku, kami menyiapkan jaring.

Lalu kami berjalan dari bibir pantai ke arah utara. Mungkin sampai 500 meter atau bahkan 1 Km. Aku tak terlalu ingat. Tapi seingatku, kami berhenti ketika tinggi air laut sudah sampai dekat leher.

Seingatku tak ada rasa takut yang menggelayut kala itu. Tak pernah terpikir jika tiba tiba ada ikan besar melahap pahaku. Mungkin karena anak remaja memang tak punya rasa takut. Sementara anak pamanku yang lebih tua dariku beberapa kali merapal doa meminta keselamatan dengan caranya sendiri.

Di situ, di area yang dalam itu, kami menebar jaring yang diberi pemberat di bawah dan pelampung di atas. Setelah jaring kami tebar, kami jalan lagi ke bibir pantai.

Setengah jam kami menunggu. Lalu kami kembali ke lautan. Menarik jaring dan mengambil ikan yang tersangkut di jaring itu. Setelahnya, kami kembali menepi. Jika beruntung, maka akan banyak ikan yang kami dapatkan.

Sementara, sebagian saudaraku mencari ikan dengan perahu. Lebih lama di laut. Dan pertaruhan nyawa lebih dahsyat.

Kadang aku membayangkan, lebih ngeri mana tersesat di hutan dan tersesat di lautan? Sebegitu keras memang hidup di laut.

Laut memang memberi banyak orang penghidupan. Sekalipun pelan-pelan sampah mulai bergelimpangan meracuni lautan. Lalu, pelan-pelan air laut mulai meninggi karena efek perubahan iklim. Ketika air meninggi, tanah makin ambles.

*

Sudah lama aku meninggalkan Pantura. Lebih dari separuh hidupku tak lagi di Pantura. Sesekali aku mampir ke sana. Bercengkerama dengan orang-orang dahulu yang tersisa.

"(Sebagian) sudah tak ada sawah. Karena air laut sudah menjalar ke sawah. Mau menanam apa jika tanah sudah dimasuki air asin?" Kata salah satu saudaraku yang tersisa di sana.

Cerita pilu itu berseliweran di khayalan bercampur dengan sketsa pekatnya sebagian bibir pantai yang penuh dengan sampah, perahu yang catnya sudah luntur, dan bau khas ikan laut.

Cerita-cerita pilu tak berhenti di situ. "Aku juga heran mengapa  dia beli rumah di situ. Rumah baru tapi sudah berteman dengan rob," kata mantan tetangga sedang menceritakan anaknya.

Kadang aku menyempatkan diri mencari temanku dahulu. Blusukan bermodal tanya dan telepon genggam. Sebab, teman-temanku memang sudah berpencar.

"Rugi kalau terus berusaha melawan rob. Memperbaiki tambak dengan alat berat itu butuh duit sampai ratusan juta. Tapi roboh lagi karena rob. Selalu seperti itu. Tambak mati. Ya bagaimana lagi?" Kata temanku yang bergulat dengan dunia pertambakan.

Aku sering menghela napas panjang. Melihat satu per satu kematian denyut kehidupan di pantai utara.

"Sekarang orang cari atau buat rumah yang menjauhi pantai. Kalau ada yang beli rumah dekat pantai ya percuma. Tapi ya bagaimana lagi. Mungkin dia sangat butuh rumah," kata seorang teman yang kerja sebagai sopir.

Itu baru soal rob, belum banjir yang jadi langganan. Siapa yang menebang hutan, siapa pula yang kena getahnya? Yang kena getahnya ya orang-orang di dataran rendah.

"Bapak sakit, ini rumah juga kebanjiran," sebuah pesan pendek mampir di telepon genggamku beberapa waktu lalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun