*
Sudah lama aku meninggalkan Pantura. Lebih dari separuh hidupku tak lagi di Pantura. Sesekali aku mampir ke sana. Bercengkerama dengan orang-orang dahulu yang tersisa.
"(Sebagian) sudah tak ada sawah. Karena air laut sudah menjalar ke sawah. Mau menanam apa jika tanah sudah dimasuki air asin?" Kata salah satu saudaraku yang tersisa di sana.
Cerita pilu itu berseliweran di khayalan bercampur dengan sketsa pekatnya sebagian bibir pantai yang penuh dengan sampah, perahu yang catnya sudah luntur, dan bau khas ikan laut.
Cerita-cerita pilu tak berhenti di situ. "Aku juga heran mengapa  dia beli rumah di situ. Rumah baru tapi sudah berteman dengan rob," kata mantan tetangga sedang menceritakan anaknya.
Kadang aku menyempatkan diri mencari temanku dahulu. Blusukan bermodal tanya dan telepon genggam. Sebab, teman-temanku memang sudah berpencar.
"Rugi kalau terus berusaha melawan rob. Memperbaiki tambak dengan alat berat itu butuh duit sampai ratusan juta. Tapi roboh lagi karena rob. Selalu seperti itu. Tambak mati. Ya bagaimana lagi?" Kata temanku yang bergulat dengan dunia pertambakan.
Aku sering menghela napas panjang. Melihat satu per satu kematian denyut kehidupan di pantai utara.
"Sekarang orang cari atau buat rumah yang menjauhi pantai. Kalau ada yang beli rumah dekat pantai ya percuma. Tapi ya bagaimana lagi. Mungkin dia sangat butuh rumah," kata seorang teman yang kerja sebagai sopir.
Itu baru soal rob, belum banjir yang jadi langganan. Siapa yang menebang hutan, siapa pula yang kena getahnya? Yang kena getahnya ya orang-orang di dataran rendah.
"Bapak sakit, ini rumah juga kebanjiran," sebuah pesan pendek mampir di telepon genggamku beberapa waktu lalu.