Santo pun lebih sering di rumah dan kantor. Dia menjadi jarang sosialisasi. Ya karena selalu disindir oleh Nono.
***
Mungkin terlalu berat beban yang Santo pikul. Khususnya setelah Marni meninggal dunia di usia 50 tahun. Santo merasa selalu kesepian, sekalipun tiga anaknya terus memberi kasih sayang.
Sementara serangan Nono tak kunjung berhenti. "Sabar pak, dikuatkan," kata Anto, anak bungsu Santo. Anto yang selama ini terus menemani Santo.
Sementara Budi dan Ari, dua anak lain dari Santo sudah berkeluarga. Sehingga tak selalu bersama Santo. Sepekan sekali dua anak itu pasti mendatangi Santo. Budi dan Ari datang memberi kebahagiaan pada Santo. Budi dan Ari datang bersama istri dan anak masing-masing. Anak yang masih kecil.
Pada akhirnya, kesepian memang tak bisa hilang dari Santo. Kehilangan sang istri, telah memberi pukulan telak.
Santo pun jatuh sakit. Badannya makin ringkih dan tak bisa berfungsi maksimal. Dia kini hidup dengan kursi roda. Dia hidup dengan bantuan Anto.
"Bapak tak usah khawatir. Anto selalu ada di rumah. Semua kerjaan Anto bisa diselesaikan di rumah. Bapak jangan mikir yang aneh-aneh, slow saja," kata Anto.
Kondisi Santo yang makin terpuruk makin jadi makanan empuk untuk Nono. Ketika Santo berjemur di pagi hari, Nono sering nyamper, hanya untuk memberi ceramah.
"Sehat To. Makanya hidup dinikmati. Pergi-pergi, jangan kerja terus seperti kuda. Sering-sering bersosialisasi. Bisa berekspresi agar hidup fresh. Sehat-sehat ya To. Hehe aku mau ke kota dulu, refreshing," ujar Nono.
Nono sering seperti itu. Terkesan menyalahkan Santo terus menerus. Setiap pagi saat Santo berjemur, setiap itulah Nono melakukan serangan verbal. Sementara Santo hanya diam saja.
"Udah sabar pak, ngga usah didengerin," kata Anto, anak Santo.