Kadang ada yang banyak beli takjil bukan karena ingin makan besar di saat buka puasa. Ada yang beli takjil yang banyak, karena kasihan lihat penjualnya.
Dari banyak penjual takjil di jalanan, ada saja penjual yang terlihat sepi. Lalu karena kasihan, akhirnya beli takjilnya.
Jadi, membeli bukan karena butuh, tapi memberi karena rasa iba. Rasa ibu kemudian diniati dengan "berbagi rezeki".
Prediksiku, hal seperti itu ada di masa Ramadan. Sebab, di masa bukan Ramadan saja, juga ada.
Misalnya, tiba-tiba nyelonong di media sosial kita bahwa ada bapak penjual makanan yang sepi dari siang sampai sore. Lalu ada ajakan, "bisa dibeli jualan bapak itu".
Lalu netizen menggeruduk ke jualan si bapak. Sesuatu yang menegaskan, membeli bukan karena butuh, tapi karena kasihan.
Kasihan pada penjual bisa dilihat dari dua sisi. Sisi pertama adalah sebentuk rasa kemanusiaan antarsesama. Karena kita memiliki rasa kasih sebagai manusia, lalu kasihan melihat penjual yang tak laris.
Bagi saya kasihan jenis ini sangat mulia. Sebab itu adalah cermin kepekaan sosial kita. Kita membeli bukan karena  butuh, tapi karena kasihan.
Kita tak lagi hanya makhluk ekonomi yang cari untung rugi, tapi kita makhluk dengan rasa kasih sayang.
Sisi kedua justru kasihan bisa dimaknai sebagai sisi ekonomi bagi yang dikasihani. Jadi, rasa kasihan dieksploitasi agar bisa berbuah uang.
Contoh, munculnya pengemis di jalanan bisa jadi karena mereka bukan miskin. Bisa jadi karena mereka memanfaatkan alias mengeksploitasi sifat mengasihani dari kita. Mengeskploitasi rasa kasihan kita agar bisa berdampak ekonomi pada mereka.
"Orang di sana kan baik-baik, sering kasihan pada orang lain. Kalau aku ngemis, sepertinya bakal cuan nich," kira-kira begitu, kata hati pengemis yang pandai cari keuntungan.
Atau ada juga pedagang yang mengeksploitasi rasa kasihan kita. Misalnya beberapa kali (tidak selalu), Â kita membeli karena kasihan pada si penjual alias si pedagang tertentu.
Kemudian si penjual tiba-tiba datang ke rumah. "Tadi kok tidak kelihatan di pasar. Saya sudah sisakan buat ibu dan tidak saya jual ke pembeli yang lainnya, ini barangnya bu," kata si penjual.
Itu sudah diskak supaya beli hehe.
Ya begitulah, dunia. Satu sisi bisa dikatakan baik, tapi selalu ada sisi lain yang potensial dimanfaatkan secara berbeda. Ya sudah, berbuat baik saja. Soal bagaimana orang lain, itu urusan mereka, bukan urusan kita. Begitukah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H