Sudah tahu bakal kalah, masih juga ditonton. Sudah tahu bakal dibohongi, masih juga dipilih.
Ada fase di mana timnas sepak bola Indonesia dan pemilu itu sebagai candu. Sesuatu yang menyenangkan dan ditunggu. Walaupun tahu, setelah itu kecewa berlipat lipat.
Saat timnas jadi candu, maka jika timnas akan main pasti sudah deg-degan. Menunggu dengan jantung degup kencang. Sembari menunggu, sembari membangun keyakinan bahwa timnas akan menang. Walaupun di hati kecil sudah yakin bakalan kalah haha.
 Kalau sudah main, makin deg-degan, makin kambuh kegilaan. Umpatan mulai keluar, salahkan sana dan salahkan sini. Dan semua sudah bisa ditebak bahwa timnas kalah lagi. Kecewa lagi.
Tapi kalau timnas main lagi, semangat lagi. Deg-degan lagi. Mengumpat lagi, teriak lagi dan kecewa lagi. Terus berulang-ulang dan berulang.
Sama sebenarnya ketika masa pemilu menjadi candu. Lima tahun sekali, diberi janji, ingar bingar ke sana ke mari. Suasana riuh dan adu pendapat karena beda pilihan tak terelakkan.
Mendukung sampai lupa waktu. Nongkrong dan bicara pemilu dan pilihan, sampai lupa mandi.
Berfoto bersama calon, jadi kebanggaan. Berjuang dan berjuang. Meyakinkan diri bahwa esok lebih baik. Walaupun di hati kecil tetap saja realistis, kalau ngga mau dibilang pesimis.
Dan benar, setelah terpilih janji tinggal janji. Petani tetap petani, nelayan tetap nelayan. Orang kecil bercampur keruwetan yang tak terurai.
Tapi... Kalau sudah pemilu kumat lagi. Semangat lagi. Dukung lagi, teriak lagi. Setelahnya kemudian jadi kekecewaan. Berulang seperti itu dan seperti itu.
Mengurangi candu