Banyak berseliweran usul penghapusan sidang isbat. Alasannya macam-macam. Misalnya soal penghematan anggaran sampai menyerahkan hal keagamaan pada masyarakat. Kalau saya berpikiran bahwa sidang isbat tetap dilaksanakan. Hal itu untuk mengakomodir umat Islam yang tak berormas, yang ber-Islam layaknya orang awam.
Aku mencoba membahasnya dalam perspektif pengalaman hidup dan pelayanan publik. Aku coba bahas dari sisi pengalaman terlebih dahulu.
Aku lahir dan besar di daerah pesisir utara Pulau Jawa, daerah yang tak jauh dari Semarang. Sejak kecil sampai SMA, orang Islam di tempatku hanya terbagi dua yakni orang Muhammadiyah atau orang NU.
Jika pun ada warga yang tak menonjol ke-Muhammadiyahan-nya atau ke-NU-annya, mereka tetap berakar. Artinya kalau tidak Muhammadiyah ya NU. Sesimpel itu.
Saat dewasa aku mulai merantau dari satu tempat ke tempat lainnya. Ternyata afiliasi orang tidak hanya NU dan Muhammadiyah. Ada juga yang ikut SI, Persis, Parmusi, dan banyak lagi. Bahkan ada Islam Aboge, ini lebih beda lagi. Â
Ternyata juga, ada orang yang berislam dan tak berormas. Mereka berislam secara awam. Melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi larangannya. Tidak berafiliasi pada kelompok apapun.
Satu ketika di tahun 2006 ada seorang teman yang berislam secara awam. Lalu dihadapkan pada situasi penentuan Ramadan antara metode rukyah dan hisab.
"Kamu Ramadan ikut yang mana mba?" Tanyaku karena dia perempuan.
"Aku tak paham gituan. Aku ikut pemerintah saja daripada bingung ditarik sana, ditarik sini," katanya.
Orang yang awam, tentu tak mau dicap macam-macam. Dia ingin netral saja. Nah, yang paling bisa dipersepsikam netral ya pemerintah.
Jadi kalau ditanya jawabannya relatif aman. "Kamu ikut ormas mana, Lebarannya?"
Tinggal jawab, "ikut pemerintah".
Jawaban itu berpotensi meringankan gesekan. Apalagi kalau orang awam ikut-ikutan yang dia tak paham, bakal lebih kacau lagi kena gesekannya.
Dari tipikalnya yang aku amati, orang awam ini hanya ingin hidup damai, bisa kerja, bisa beribadah, dan tak distempel macam-macam.
Maka, kehadiran pemerintah melalui sidang isbat adalah sebagai penetral. Coba bayangkan kalau tak ada sidang isbat, orang Islam yang awam ini bisa saja jadi komoditas, tarik sana, tarik sini. Kan ngeri....
Pelayanan Publik
Sepemahamanku, negara hadir untuk melayani. Negara melalui pemerintah harus melayani semuanya. Negara melalui pemerintah harus melayani mayoritas dan minoritas.
Melayani itu tidak untuk cari untung. Negara harus siap dan mau rugi untuk melayani warganya, sekalipun dia adalah warga minoritas.
Jangan hanya karena dalih berhemat, pelayanan tak dilakukan maksimal atau malah tak dilakukan. Kalau perspektifnya berhemat, KPK itu tak perlu ada karena setahuku pengeluarannya besar daripada uang yang diselamatkan dari korupsi.
Tapi melihat KPK tak bisa melihat dari kacamata untung rugi dan penghematan. Melihat KPK harus dalam perspektif pelayanan dalam hal penegakan hukum. Berapapun biayanya, pelayanan hukum harus dijalankan pemerintah.
Kembali ke masalah muslim awam. Aku tak tahu berapa orang Islam di Indonesia yang tak berormas. Tapi rabaanku, jumlahnya tidak sedikit. Apalagi daerah perkotaan yang orangnya super sibuk.
Nah mereka harus dilindungi, difasilitasi, diberi jalan. Caranya, negara hadir sebagai pihak yang dijadikan pegangan. Negara melayani mereka dalam hal memberi pegangan pelaksanaan Idulfitri, Ramadan, dan Iduladha.
Coba kamu bayangkan, jika tak ada sidang isbat, muslim non ormas akan bingung. Sebab, bakal ditarik sana sini. Makin ribet dan berpote nsi makin muncul perpecahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H