"Salim....Salim..." lelaki berkepala ular itu memanggil.
Tapi deru tangis, gelap tak biasa. Membuat Salim tak punya pilihan selain lari. Membawa gendongan yang tak ringan. Gendongan yang terus menangis dengan teriakan dan sesenggukan, dengan mata terpejam.
"Sebentar lagi, sampai rumah," kata Salim dengan terengah-engah dan deburan angin tak keruan. Dengan si gendongan yang terus mendekap kencang dan mata tertutup.
Masuklah lorong kampung, dengan terus berlari kecil sebisanya. Senter yang Salim bawa menyorot tak keruan. Semakin banyak binatang yang dia temui. Sementara Rohim yang di gendongannya sudah tak bersuara. Â
Salim melihat sekilas dari corongan cahaya senternya. Dia melihat lelaki anjing, perempuan babi hutan, nenek tikus, kakek rusa. Mereka semua, memanggil Salim. "Salim....Salim...Salim...," kata mereka bersahutan di tengah gelap yang tak keruan itu.
Tapi Salim tak lihat anak-anak di antara kerumunan manusia binatang itu. Sembari lari kecil dia berpikir. Sembari mengenali pakaian makhluk itu.
"Itu lelaki anjing itu, pakaian Sunar. Nenek tikus itu, Nenek Narsih," kata Salim pada dirinya sendiri. Dia juga sudah bertanya-tanya karena tangisan Rohim sudah hilang sedari tadi.
"Bu buka pintu!" kata Salim setengah teriak.
Ketika pintu dibuka, sang istri, menangis meronta. Kaget tak kepalang. Tangis dan kagetnya meraung-raung melihat Salim dan Rohim. Lalu Sri, istri itu pingsan. Senter mengarah ke cermin. Salim baru tahu jika kepalanya sudah berubah dengan kepala kuda.
Hentakan teriak itu sudah merada di ujung tenggorokan Salim. Tapi, Salim terhenti karena sadar bahwa Rohim yang digendongnya, bercahaya. Kepala Rohim bercahaya dan sudah tanpa nyawa.
Salim bersimpuh... "Tuhan maafkan aku... maafkan aku...maafkan aku...." kata Salim lirih tapi meronta dengan air mata yang tak terbendung.