Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Aku Tak Sekolah Asrama, Juga Jadi Korban Kekerasan

8 September 2022   20:07 Diperbarui: 8 September 2022   20:22 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi foto: Kompas.com/Indra Akuntono

Aku tak pernah sekolah asrama. Aku sekolah seperti umumnya anak, yakni berangkat ke sekolah dan pulang ke rumah setiap hari, kecuali hari libur.

Tentu aku tak pernah merasakan bagaimana kisah sekolah asrama. Tak juga bisa memberi evaluasi tentang sekolah asrama. Apakah di sekolah asrama marak kekerasan? Tentu aku tak tahu, kecuali dari pemberitan.

Apakah sekolah bukan asrama membuat kita aman dari tindak kekerasan? Tidak juga. Itulah yang aku alami. Sekalipun sekolah biasa, aku tetap pernah jadi korban kekerasan, baik kekerasan fisik, psikis, atau verbal.

Pernah dipukul di bagian leher belakang oleh teman. Pernah dimaki-maki di kelas oleh anak paling nakal di jam pelajaran, yakni jam pelajaran kosong ketika gurunya tak ada.

Sering jadi bahan olok-olok teman. Pernah direndahkan secara tidak langsung sebagai "siswa miskin" oleh seorang guru hanya karena aku tak membawa satu peralatan sebuah mata pelajaran.

Beberapa oknum senior, berlagak gila hormat. Menempatkan junior sebagai objek rendah. Pernah pula aku dipalak senior.

Sebagai siswa yang tak kaya, tak pandai, dan biasa saja, memang tak jadi pusat perhatian. Yang ada malah jadi sasaran. Kadang disuruh-suruh.

Pernah satu ketika, seorang teman kehilangan uangnya dan mencarinya. Aku kemudian menemukan uang itu. Aku kembalikan uang ke si teman itu.

Setelah uang ia terima, ia kembalikan lagi ke aku. Menyuruhku membeli minuman di kantin. Aku tentu heran ketika itu. Aku yang membantu menemukan uangnya, aku pula yang disuruh membelikan minuman. "Seperti babu," gumamku. Pada akhirnya aku ke kantin dan membeli minuman. Uangnya buat beli minuman dan aku habiskan di kantin. Aku habiskan uang itu untuk diriku sendiri, sebagai sikap protes.  

Begitu ke kelas si teman menagih, "mana minumannya?" katanya.

Aku enteng saja menjawab, "sudah aku habiskan," kataku sembari ngeloyor. Itu bentuk protesku atas tindakannya yang seperti menjadikanku sebagai pesuruh alias tindakan penjajahan.

Tapi, tentu tidak semua temanku jahat atau bermasalah. Lebih banyak yang baik, yang bisa diajak bercanda dan bermain bola.

Mentalitas Penjajah

Aku tentu tak bisa berbicara tentang sekolah asrama. Tapi, bagiku jika sekolah memunculkan kekerasan, salah satunya karena mentalitas penjajah. Mentalitas untuk menjadikan orang lain terjajah.

Biasanya, orang lain tersebut adalah yang junior. Contoh nyata mentalitas penjajah adalah meminta si junior untuk memijat si senior. Bagiku, itu penjajahan luar biasa. Silakan jika tak sepakat.

Mentalitas menjajah juga bisa dilihat dari mentalitas memalak. Mentalitas penjajah juga bisa dilihat dari ingin menguasai yang lebih lemah. Menyuruh-nyuruh yang lebih lemah.

Uniknya, sebagian oknum bermental penjajah itu adalah yang sering bicara kesetaraan. Mereka berbicara kesetaraan, demokrasi, dan tetek bengek lainnya. Tapi, mentalitas mereka adalah mentalitas penjajah.

Tentu saja tidak semua siswa memiliki mentalitas penjajah. Dari pengalamanku, hanya segelintir yang memiliki mentalitas penjajah.

Mentalitas penjajah tak hanya di siswa, tapi juga di guru. Dulu, ada seorang guruku yang ketika si murid tak membuat tugas, tetap bisa mendapatkan nilai lumayan. Caranya adalah bermain playstation di rumah guru itu. Jadi guru ini punya bisnis sampingan persewaan playstation.

Dia terang-terangan bicara di kelas bahwa siapa yang tak buat tugas, bisa tetap dapat nilai lumayan asal main playstation di rumahnya. Tunjukkan voucher bukti bermain playstation dan siswa akan dapat nilai. Lucu ya? Kan benar-benar mentalitas penjajah. Tapi sekali lagi, tak semua guru seperti itu. Jauh lebih banyak guruku yang baik dan mendidik.

Jadi, jika mentalitas penjajah itu dipupuk di rumah dan lingkungan, maka bisa berdampak di sekolahan. Yang bisa menghilangkan mentalitas penjajah adalah kasih sayang. Mengasihi dan menyayangi manusia layaknya manusia. Dan itu berat di masa ketika semua diukur dengan uang, seperti saat ini.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun