Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengubah "rumah sakit" menjadi "rumah sehat". Niatnya sepertinya bagus, tapi konsekuensinya bisa membuat pelik.
Wacana di publik tentang nama "rumah sakit" sudah ada sejak saya kecil. Ada yang mempermasalahkan istilah rumah sakit.
Mereka yang mempermasalahkan istilah rumah sakit berpikir, makanya tidak sembuh jika masuk rumah sakit. Sebab, memang untuk sakit.
Mereka ini kemudian mengusulkan rumah sakit ganti nama jadi rumah sehat. Harapannya adalah agar orang masuk ke rumah itu, menjadi sehat.
Tapi logika lain juga muncul. Rumah sakit adalah rumah untuk orang sakit agar bisa sembuh. Jika diganti jadi rumah sehat, tentu akan rancu. Sebab, jika namanya rumah sehat, maka orang sakit tak boleh masuk ke rumah sehat.
Lalu bagaimana dengan kamus bahasa Indonesia. Saya lihat di kamus bahasa Indonesia, yang ada adalah istilah "rumah sakit". Rumah sakit salah satu definisinya menurut kamus bahasa Indonesia adalah tempat untuk merawat orang sakit. Sementara, rumah sehat tak muncul definisinya dalam kamus bahasa Indonesia.
Itu dalam definisi bahasa. Ya silakan saja bahasa berubah. Sebab, memang memungkinkan bahasa berubah.
Tapi menurut saya, yang problematik adalah, di mana  dasar hukum rumah sehat itu? Adakah UU yang mengatur tentang rumah sehat?
Yang ada adalah UU Rumah Sakit nomor 44 tahun 2009. Di UU tersebut juga dijelaskan definisi rumah sakit. Lalu, bagaimana definisi rumah sehat? Ya tidak ada dalam UU Rumah Sakit. Mungkin definisi rumah sehat ada dalam UU, tapi mungkin di UU tentang Permukiman. Masa ngatur rumah untuk orang sakit agar sembuh atau sehat pakai UU (jika ada) tentang Permukiman?
Dalam pemerintahan, semua kebijakan berdasarkan pada aturan hukum. Kebijakan dibuat dengan dasar hukum. Dasar hukum tegak lurus ke atas. Artinya, peraturan di bawah UU tak boleh bertentangan dengan UU. UU juga tak boleh bertentangan dengan UUD 1945.
Maka, pertanyaan mendasarnya, di mana dasar hukum "rumah sehat"? Sebab, tak ada UU yang mengatur "rumah sehat". Bisa-bisa karena perubahan istilah itu, "rumah sehat" di Jakarta tak boleh menerima fasilitas dari pemerintah karena yang boleh menerima adalah "rumah sakit".
Saya jadi ingat kenapa yang tertulis di dokumen adalah "sertipikat". Sebab, UU yang terkait agraria adalah UU lama tahun 1960 dan masih menulis "sertipikat". So, kenapa dokumen masih bertuliskan "sertipikat" bukan "sertifikat", ya karena UU-nya masih menggunakan kata "sertipikat".
Jika bahasa bisa berubah dan lumrah, tapi hukum harus jelas. Konsekuensi hukum dari perubahan "rumah sakit" jadi "rumah sehat", bisa pelik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H