Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tentang Hajatan yang Berisik

30 Mei 2022   12:27 Diperbarui: 31 Mei 2022   06:22 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hajatan ramai. Foto: kompas.com/tresno setiadi

Hajatan yang berisik dan jalan yang ditutup. Fenomena yang sering aku lihat, bahkan aku alami sendiri.

Dulu, saat anakku masih berumur kurang dari dua pekan, tetangga mengadakan hajatan. Yang pasti hajatannya ramai karena nanggap wayang.

Saya paham bahwa nanggap wayang itu sudah disiapkan jauh hari. Bahkan sudah dikhayalkan jauh jauh bulan. Sebab, saya juga tahu bahwa si tetangga punya niat akan nanggap wayang jika anak pertamanya menikah.

Di sisi lain, istriku sudah bingung bukan kepalang. Maklum saja, anakku belum berumur dua pekan. Istriku takut anak kami tak bisa tidur dan terganggu. Padahal, anak bayi butuh tidur lama.

Atas kekhawatiran itu, salah satu opsi yang sempat muncul adalah membawa anak ke rumah saudara yang berbeda desa, di malam pertunjukan wayang.

Tapi, niat membawa anak ke saudara beda desa itu urung kami lakukan. Aku lupa alasannya. Tapi mungkin karena kami juga tak mau merepotkan orang lain waktu itu.

Pada akhirnya, kami berusaha menidurkan anak setelah Maghrib. Tentu berharap agar anak kami tidur sebelum keramaian terjadi. Pada akhirnya memang anakku tidur awal. Sampai pagi tak terjadi seperti yang dikhawatirkan.

Anakku tidur dan orang orang ramai bahagia nonton wayang. Sebuah keberuntungan!

***

Aku punya cerita hidup tentang kebisingan, khususnya malam hari. Kebisingan adalah hal biasa. Sejak kecil, aku hidup di lingkungan yang tak jauh dari jalur sibuk pantura.

Maka, suara mobil, bus, dan truk malam jadi penghias malam-malamku. Aku pun tetap tidur lelap. Suara hajatan atau sejenisnya yang menggunakan pengeras suara di malam hari pun, tak terlalu bermasalah bagiku.

Ya karena memang aku hidup di lingkungan yang sudah biasa dengan kebisingan. Lalu bagaimana dengan jalan yang ditutup karena hajatan?

Itu juga hal yang sering aku alami. Jalan ditutup karena hajatan. Jalan tertutup karena ada yang menjemur padi di jalan.

Sejak kecil, jika ada situasi jalan ditutup, ibu memintaku untuk mengalah. Maka aku tak pernah ambil pusing jika jalan ditutup, aku cari jalan lain.

***
Tapi aku juga paham dengan orang yang hidup tak akrab dengan kebisingan. Aku paham ada orang yang tak mau haknya diambil sedikit pun, termasuk hak untuk istirahat dengan suasana tenang.

Aku juga paham karena dulu ada tetangga pendatang yang protes dengan kebiasaan bising di kampungku. Protes karena anaknya tak bisa belajar di malam hari karena bising kampung. Sempat geger waktu itu. Sebab, orang kampung kami terbiasa dengan bising dan orang baru yang tak biasa dengan bising.

Jadi, aku juga paham jika ada orang yang menuntut ketenangan di rumahnya. Aku paham jika ada orang yang menuntut bahwa jalan umum tak boleh diakuisisi bahkan untuk sementara.

***

Lalu bagaimana jika dua kutub berbeda itu berhadapan? Misalnya hajatan bising bertemu dengan orang yang butuh ketenangan untuk kerja dan istirahat di rumah?

Ya dibicarakan saja baik baik secara langsung. Bicara dengan baik agar ada pengertian. Jika ada saling pengertian, pasti ada jalan keluar.

Jika dibicarakan baik-baik tetap tak menemui jalan tengah, ya harus ada yang mengalah. Kunci akhir dan paling mentok jika dua kutub berbeda berhadapan adalah ada yang mengalah.

Nah, yang repot kalau kita ini adalah kumpulan orang yang tak mau mengalah. Maunya menang sendiri.  Repot!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun