Ya karena memang aku hidup di lingkungan yang sudah biasa dengan kebisingan. Lalu bagaimana dengan jalan yang ditutup karena hajatan?
Itu juga hal yang sering aku alami. Jalan ditutup karena hajatan. Jalan tertutup karena ada yang menjemur padi di jalan.
Sejak kecil, jika ada situasi jalan ditutup, ibu memintaku untuk mengalah. Maka aku tak pernah ambil pusing jika jalan ditutup, aku cari jalan lain.
***
Tapi aku juga paham dengan orang yang hidup tak akrab dengan kebisingan. Aku paham ada orang yang tak mau haknya diambil sedikit pun, termasuk hak untuk istirahat dengan suasana tenang.
Aku juga paham karena dulu ada tetangga pendatang yang protes dengan kebiasaan bising di kampungku. Protes karena anaknya tak bisa belajar di malam hari karena bising kampung. Sempat geger waktu itu. Sebab, orang kampung kami terbiasa dengan bising dan orang baru yang tak biasa dengan bising.
Jadi, aku juga paham jika ada orang yang menuntut ketenangan di rumahnya. Aku paham jika ada orang yang menuntut bahwa jalan umum tak boleh diakuisisi bahkan untuk sementara.
***
Lalu bagaimana jika dua kutub berbeda itu berhadapan? Misalnya hajatan bising bertemu dengan orang yang butuh ketenangan untuk kerja dan istirahat di rumah?
Ya dibicarakan saja baik baik secara langsung. Bicara dengan baik agar ada pengertian. Jika ada saling pengertian, pasti ada jalan keluar.
Jika dibicarakan baik-baik tetap tak menemui jalan tengah, ya harus ada yang mengalah. Kunci akhir dan paling mentok jika dua kutub berbeda berhadapan adalah ada yang mengalah.
Nah, yang repot kalau kita ini adalah kumpulan orang yang tak mau mengalah. Maunya menang sendiri. Â Repot!