Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lelaki yang Suara Merdunya Tersimpan di Laci

10 April 2022   06:08 Diperbarui: 10 April 2022   06:21 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Foto: shutterstock/kingmaya studio dipublikasikan kompas.com


Budi, pria cinta dunia, harta, dan kebanggaan. Dia memupuk harapannya untuk berjaya berulang-ulang, tapi lebih sering gagal.

Di usianya yang jelang kepala tiga, sendirian bersama ibunya. Sembari kerja jadi tukang bangunan, dia merajut mimpi dunianya. Dia ingin kaya, berjaya, terkenal, dan membanggakan.

Kegagalan sering menimpanya. Asmara, sekolah, karier, tak pernah mulus dan halus. Bahkan, dia tak istimewa. Asmaranya selalu bertepuk sebelah tangan. Sekolahnya berhenti di SMA karena kurang biaya. Segala tetek bengek perlengkapan sekolah tak bisa dia dapatkan. Akhirnya drop out.

Pada satu ketika, dia terpuruk, asmaranya kandas untuk kali sekian, padahal belum pacaran. Dia didepak dari proyek jembatan di kota karena kelalaiannya. Ibunya sakit sakitan.

Setelah Subuh datang, dia sesenggukan. Dia baca kitab suci Alquran. Alquran di atas meja, lalu dia membuka laci bagian bawah meja itu untuk mengambil korek telinga.

Laci tak ditutup. Budi mengaji dengan derai air mata. Dia hanyut membaca Alquran. Suaranya sangat  merdu. Suaranya tinggi dan berkelok. Suara Budi bisa melengking luar biasa, menahan napas sampai satu menit.

Dia hanyut membaca ayat suci. Si ibu kaget bukan kepalang. Dia yang sakit tetiba sembuh karena suara merdu anaknya. Para tetangga berdatangan berkerumun di dekat rumah Budi.

Para tetangga coba melihat dan terus mendengar bagaimana Budi bisa memiliki suara sebagus itu. Ada tetangganya yang menangis teringat dosa yang bertumpuk. Ada tetangganya yang hamil dan ingin punya anak dengan suara merdu seperti Budi.

Saat matahari mulai terlihat, Budi lelah mengaji. Dia tersungkur dan tidur di tanah yang beralaskan tikar.

Setiap usai Subuh, Budi selalu seperti itu. Mengaji dengan suara diarahkan ke laci. Suaranya merdu dan Budi seperti terhanyut. Saat itu pula, ibunya makin sehat dan tetangga berdatangan mendengar dari luar bagaimana suara merdu Budi.

Nina yang sedang hamil itu,  tetangga Budi itu, merekam suara Budi. Suara yang didengarkan ke calon bayinya.

***
Budi tak pernah sadar jika suaranya merdu. Sampai kemudian, rekaman suara itu diperdengarkan ke Budi. Budi juga kaget, dia merasa orang dengan suara terindah di kampung, bahkan se Kecamatan.

Begitu sadar akan masa kejayaan yang sepertinya tinggal selangkah, Budi membaca Alquran, di teras rumah jelang petang. Para tetangga membawa kursi plastik berkumpul.

Para tetangga akan menyimak suara Budi. Ada 30 orang berkumpul. Budi bangga luar biasa. Lalu satu tarikan napas, Budi mengaji.

Tapi, suaranya biasa saja. Para tetangga terkejut. "Jangan-jangan kemarin kemarin itu suara rekaman," kata Sulis, bunga desa yang sedang merekah.

Budi pun kaget, saat suaranya tak lagi seperti emas. Padahal kejayaan sudah tinggal selangkah lagi, menjadi lelaki yang membanggakan. Siapa tahu menjadi kaya dari mengaji.

Tak sampai 10 menit, para tetangga bubar. Mereka pergi karena merasa bahwa suara Budi biasa saja. Budi celingukan karena tak ada lagi yang mendengarkannya.

Budi pindah tempat ingin membuktikan suaranya indah. Dia lari ke musala, dia mengaji di sana. Tapi suaranya biasa saja.

Dia lari kembali ke rumah, dia mengaji di dapur, suaranya biasa saja. Dia jalan ke ruang tamu, dia mengaji di sana, dan suaranya biasa saja.

Dia mengaji di meja, membuka laci dan melakukan ritual seperti jelang pagi. Dia ingin memburu kejayaan, tapi tetap saja suaranya biasa saja.

Kala terpuruk itu, di jelang pagi usai Subuh, Budi kembali mengaji. Dia terpuruk amat sangat. Dia kembali mengaji dengan suara diarahkan ke laci yang terbuka. Dia seperti terhanyut dan suara emasnya keluar.

Tetangga berdatangan mendobrak pintu rumah Budi. Para tetangga melihat bagaimana Budi terhanyut memejamkan mata membaca kitab suci.

Para tetangga memenuhi rumah itu, berdiri mendengar suara emas Budi. Budi tak sadar jika dia ditonton banyak orang. Selesai membaca, Budi lelah tersungkur di tanah yang beralaskan tikar.

***
Orang-orang mulai berpikir jangan-jangan suara Budi karena meja itu. Kemudian, Budi yang kembali tahu suaranya telah ditemukan, mengiyakan membaca kitab suci di teras rumah bersama meja yang dituding ajaib itu.

Budi merasa itulah jalan ceritanya. Budi merasa bahwa dia akan jaya. Budi semangat hidup. Lalu, di teras rumah banyak orang berkumpul dan Budi bersiap mengaji.

Tapi kebanggaan itu hilang. Budi tak punya suara merdu sekalipun meja telah menemaninya. Sekalipun laci telah dia buka. Dia kembali kehilangan suaranya.

Orang-orang pergi berserakan. Tak mendapatkan suara merdu Budi yang biasa mengalun jelang pagi. Budi kembali terpuruk dan di pagi selanjutnya dia membaca kitab suci.

Suaranya kembali merdu. Pintu rumahnya kembali didobrak tetangga. Budi kembali terhanyut dan tak sadar bahwa banyak orang berkumpul di rumahnya. Budi kembali lelah dan tersungkur di tanah yang beralaskan tikar.

***
Dulu, tujuh tahun lalu, rumah Budi pernah kebanjiran. Di tengah banjir itu, Budi mengambil dua semut yang terjatuh ke air. Ditaruhlah dua semut itu di meja.

Dua semut yang suami istri itu, kemudian beranak pinak. Mereka membangun istana di laci meja itu. Tiap hari keluarga semut itu selalu berdoa agar ada waktu tiap hari Tuhan mencintai Budi hingga Budi tak tersadar.

Semut itu meminta agar waktu Budi sangat dicintai Tuhan adalah di jelang pagi hari. Semut itu meminta agar ada suara merdu dari Budi ketika membaca kitab suci di jelang pagi hari. Agar dinasti semut itu semangat dan ingat Tuhan selalu di pagi hari hingga pagi kembali.

Para semut itu, selalu berdoa tiap saat. "Tuhan, Cintailah Budi...Tuhan Cintailah Budi...Tuhan Cintailah Budi."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun