Tetangga berdatangan mendobrak pintu rumah Budi. Para tetangga melihat bagaimana Budi terhanyut memejamkan mata membaca kitab suci.
Para tetangga memenuhi rumah itu, berdiri mendengar suara emas Budi. Budi tak sadar jika dia ditonton banyak orang. Selesai membaca, Budi lelah tersungkur di tanah yang beralaskan tikar.
***
Orang-orang mulai berpikir jangan-jangan suara Budi karena meja itu. Kemudian, Budi yang kembali tahu suaranya telah ditemukan, mengiyakan membaca kitab suci di teras rumah bersama meja yang dituding ajaib itu.
Budi merasa itulah jalan ceritanya. Budi merasa bahwa dia akan jaya. Budi semangat hidup. Lalu, di teras rumah banyak orang berkumpul dan Budi bersiap mengaji.
Tapi kebanggaan itu hilang. Budi tak punya suara merdu sekalipun meja telah menemaninya. Sekalipun laci telah dia buka. Dia kembali kehilangan suaranya.
Orang-orang pergi berserakan. Tak mendapatkan suara merdu Budi yang biasa mengalun jelang pagi. Budi kembali terpuruk dan di pagi selanjutnya dia membaca kitab suci.
Suaranya kembali merdu. Pintu rumahnya kembali didobrak tetangga. Budi kembali terhanyut dan tak sadar bahwa banyak orang berkumpul di rumahnya. Budi kembali lelah dan tersungkur di tanah yang beralaskan tikar.
***
Dulu, tujuh tahun lalu, rumah Budi pernah kebanjiran. Di tengah banjir itu, Budi mengambil dua semut yang terjatuh ke air. Ditaruhlah dua semut itu di meja.
Dua semut yang suami istri itu, kemudian beranak pinak. Mereka membangun istana di laci meja itu. Tiap hari keluarga semut itu selalu berdoa agar ada waktu tiap hari Tuhan mencintai Budi hingga Budi tak tersadar.
Semut itu meminta agar waktu Budi sangat dicintai Tuhan adalah di jelang pagi hari. Semut itu meminta agar ada suara merdu dari Budi ketika membaca kitab suci di jelang pagi hari. Agar dinasti semut itu semangat dan ingat Tuhan selalu di pagi hari hingga pagi kembali.
Para semut itu, selalu berdoa tiap saat. "Tuhan, Cintailah Budi...Tuhan Cintailah Budi...Tuhan Cintailah Budi."