Saya membayangkan, jika semua tempat memiliki fenomena yang sama, maka pasar dari wayang akan makin tergerus. Jika semua daerah sama yakni penonton wayang adalah mereka yang berumur sepuh, ya makin sedikit orang yang paham wayang.
Bisa ditebak dengan sendirinya, jika pangsa pasar sudah hilang, maka produksi tidak bisa diandalkan. Belum lagi jika menanggap wayang dinilai mahal. Jadi wayang adalah konsumsi orang sepuh dan yang menanggap adalah orang sepuh yang kaya.
Sebenarnya, jika kondisinya seperti ini, pemerintah bisa turun tangan. Turun tangan untuk mempertahankan wayang dari ancaman kepunahan. Yang paling sederhana bagi pemerintah adalah membuat tempat yang representatif untuk segala macam acara kesenian. Lalu, secara kontinu pemerintah menyelenggarakan acara seni tradisi, salah satunya bisa menanggap wayang sebulan sekali dan dalangnya digilir. Â Â
Selain itu, ya bagaimana agar anak-anak dikenalkan dengan wayang. Jangan hanya dicekoki berbahasa Inggris dan matematika saja. Seolah hidup hanya bahasa Inggris dan matematika. Masih ada yang lain yang bisa dikenalkan ke anak-anak. Siapa tahu ketika anak-anak paham, mereka tertarik untuk melestarikan wayang.
Lebih-lebih jika pemerintah bisa me-live-kan acara wayang di dunia maya. Lalu, semua orang yang punya akar Indonesia, diberi tahu bahwa akan ada pertunjukan wayang via dunia maya.
Bayangkan saja jika penonton dari mancanegara membludak dengan acara live virtual itu. Apakah sudah pemerintah lakukan? Mungkin sudah, mungkin belum, aku tak paham. Â