Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nikah Senyap atau Ramai, Tak Perlu Dihakimi

23 Januari 2022   06:29 Diperbarui: 23 Januari 2022   08:19 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. KOMPAS.com/DIAN REINIS KUMAMPUNG

Beda itu biasa, maka tak perlu menghakimi. Aku ingin menulis pernikahan yang kontras, pernikahan senyap dan pernikahan ramai.

Satu ketika di masa lalu, aku pernah mengetahui pernikahan senyap. Pernikahan antara dua insan dan aku kenal mereka. Jika aku membayangkan bagaimana senyapnya nikah mereka, maka aku hanya bisa bilang itulah cinta.

Ya, dua insan ini menikah senyap. Pagi hari mereka berdua jalan ke masjid yang jaraknya dari rumah sekitar 1 kilometer. Di masjid besar mereka dinikahkan oleh petugas KUA, lalu mereka pulang jalan kaki berdua.

Setelah itu tak ada apapun. Tapi semua orang tahu bahwa keduanya sudah menikah. Tak ada resepsi, tak ada undangan, tak ada apapun.

Ada slentingan negatif soal nikah sederhana ini. Tapi karena dua sejoli ini sudah memiliki dasar kuat kenapa nikah senyap, mereka pun enjoy saja. Kini, anak mereka sudah kepala dua.

Ada juga orang yang nikah sangat ramai. Ada resepsi yang mengundang banyak teman, ada sewa gedung, ada macam-macamlah. Biasanya si orangtua yang menghendaki keramaian.

Tapi aku juga paham dan enggan berpikir negatif. Aku hanya berpikir bahwa si orangtua punya banyak teman. Tak enak kalau tak mengundang teman yang banyak itu.

Kalau tak mengundang teman yang banyak, nanti bisa buruk hubungan pertemanan. Bisa saja keramaian itu sebagai bentuk rasa syukur.

Rasa syukur karena sang anak menikah. Rasa syukur dimunculkan ya dengan memberi pada orang lain. Kalai acaranya ramai, maka akan ada makan-makan. Tetangga akan datang dan makan-makan.

Bahkan kadang aku sendiri pernah merasakan. Ketika datang ke hajatan tetangga untuk membantu tetek bengek, malah disuruh duduk dan disuruh makan. Ya, mereka ingin menyenangkan orang lain karena bahagia si anak akhirnya menikah.

Aku hanya ingin mengatakan, mau menikah senyap atau ramai, itu ada dasarnya. Saya lebih suka menduga jika dasarnya adalah hal positif.

Maka ketika ada orang menikah tanpa ramai-ramai ya jangan dihakimi seperti koruptor. Kalau ada yang nikah senyap ya jangan dituduh macam-macam.

Kalau ada yang nikah ramai-ramai ya jangan dituduh pamer. Bisa jadi keramaian itu adalah bentuk rasa syukur. Bersyukur diwujudkan dengan keramaian yang membahagiakan orang lain.

Bagiku, hidup selalu memunculkan kemungkinan dua cerita yang berbeda. Setiap cerita memiliki setting, plot, dan alasan yang bisa saja beda.

Asal perbedaan itu bukan pelanggaran hukum, kemanusiaan, dan etika, ya biar saja. Tak perlu saling menghakimi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun