Beda itu biasa, maka tak perlu menghakimi. Aku ingin menulis pernikahan yang kontras, pernikahan senyap dan pernikahan ramai.
Satu ketika di masa lalu, aku pernah mengetahui pernikahan senyap. Pernikahan antara dua insan dan aku kenal mereka. Jika aku membayangkan bagaimana senyapnya nikah mereka, maka aku hanya bisa bilang itulah cinta.
Ya, dua insan ini menikah senyap. Pagi hari mereka berdua jalan ke masjid yang jaraknya dari rumah sekitar 1 kilometer. Di masjid besar mereka dinikahkan oleh petugas KUA, lalu mereka pulang jalan kaki berdua.
Setelah itu tak ada apapun. Tapi semua orang tahu bahwa keduanya sudah menikah. Tak ada resepsi, tak ada undangan, tak ada apapun.
Ada slentingan negatif soal nikah sederhana ini. Tapi karena dua sejoli ini sudah memiliki dasar kuat kenapa nikah senyap, mereka pun enjoy saja. Kini, anak mereka sudah kepala dua.
Ada juga orang yang nikah sangat ramai. Ada resepsi yang mengundang banyak teman, ada sewa gedung, ada macam-macamlah. Biasanya si orangtua yang menghendaki keramaian.
Tapi aku juga paham dan enggan berpikir negatif. Aku hanya berpikir bahwa si orangtua punya banyak teman. Tak enak kalau tak mengundang teman yang banyak itu.
Kalau tak mengundang teman yang banyak, nanti bisa buruk hubungan pertemanan. Bisa saja keramaian itu sebagai bentuk rasa syukur.
Rasa syukur karena sang anak menikah. Rasa syukur dimunculkan ya dengan memberi pada orang lain. Kalai acaranya ramai, maka akan ada makan-makan. Tetangga akan datang dan makan-makan.
Bahkan kadang aku sendiri pernah merasakan. Ketika datang ke hajatan tetangga untuk membantu tetek bengek, malah disuruh duduk dan disuruh makan. Ya, mereka ingin menyenangkan orang lain karena bahagia si anak akhirnya menikah.
Aku hanya ingin mengatakan, mau menikah senyap atau ramai, itu ada dasarnya. Saya lebih suka menduga jika dasarnya adalah hal positif.