Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pelawak Juga Manusia, Adakalanya Mereka Gagal

6 Oktober 2021   12:05 Diperbarui: 6 Oktober 2021   12:09 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Foto: shutterstock dipublikasikan kompas.com

Jangan pernah berpikir bahwa orang akan selalu sempurna dalam kariernya. Misalnya, jika seseorang menjadi pemain sepak bola, toh dia tetap manusia. Adakalanya dia bermain buruk dalam sebuah pertandingan. 

Lionel Messi yang hebat pun, pernah bermain buruk di sebuah pertandingan. Bahkan, pernah gagal mencetak gol saat adu penalti di final Copa America Centenario 2016.

Jika orang menjadi guru, toh dia tetap manusia. Adakalanya dia mati gaya di hadapan muridnya. Mungkin karena sudah lelah mengajar seharian. Jika seorang menjadi sopir, dia pun kadang melakukan kesalahan saat menyetir. Jika dia adalah seorang petani, dia pun kadang salah antisipasi padi.

Hidup itu memberi kemungkinan tentang kegagalan. Tak ada hidup yang sempurna. Hanya saja, jika orang sudah sangat mendarah daging dengan profesinya, persentase kegagalan akan sangat kecil. Biasanya seperti itu.

Nah, hal yang sama juga harus berlaku pada pelawak. Jangan pernah berpikir bahwa pelawak harus selalu bisa membuat orang tertawa. Artinya, jika ada pelawak yang gagal membuat orang tertawa, ya biasa saja. Jangan dicemooh atau jangan disudutkan.

Kenapa? Ya karena pelawak manusia juga. Ada kalanya dia mati gaya. Ada kalanya dia tak mendapatkan harinya. Ada kalanya dia gagal membuat tertawa audiensnya. Itu wajar saja. Apalagi, melawak itu bukan perkara gampang.

Kenapa melawak tidak gampang? Pertama, pelawak dituntut untuk membuat lawakan yang baru. Jika dia melawak hal yang sama di tempat yang berbeda, maka lama-kelamaan dia akan ditinggalkan.

Kedua, melawak itu tidak mudah ketika dia sedang punya masalah. Dulu Tessy Srimulat pernah bercerita, bagaimana rasanya harus melawak ketika orangtua sedang sakit. Di satu sisi sedih, di sisi lain bekerja membuat orang tertawa.

Ketiga, kadang masyarakat kita tak paham beda panggung dan non panggung. Mereka tetap "meminta" pelawak melucu sekalipun tidak sedang di panggung. Padahal, pelawak juga memiliki kehidupan normal sebagai manusia.
***  

Nah, bagaimana membedakan pelawak dengan yang bukan pelawak? Kalau pelawak yang sudah mendarah daging, maka ketika berada di panggung, aura lucunya sudah terlihat. Bahkan, ketika dia masuk panggung dan belum bilang apapun, gerrr pun sudah muncul. Walau saya yakin dia pernah gagal melucu, tapi dia lebih sering bisa melucu. Sebab, lawak sudah mendarah daging.

Tapi, yang juga perlu digarisbawahi, dalam grup atau duo lawak, masing-masing pelawak memiliki peran. Ada pelawak yang tugasnya utamanya bukan melucu, tapi memancing atau mengumpan atau menimpali. 

Salah satu contoh ketika melihat Cak Lontong dengan Akbar dalam sebuah acara ketika Cak Lontong berperan sebagai Si Buta dari Goa Hantu. 

Silakan cek youtubenya. Di situ Akbar mampu dengan bagus menimpali dan mengumpan. Sehingga, lawakan Cak Lontong benar-benar menggemparkan. Jadi faktor Akbar sebagai pengumpan atau penimpal juga sangat-sangat penting.

Lalu mereka yang bukan pelawak itu yang bagaimana? Ya yang tak bisa melucu. Tak bisa melucu dan tak bisa memancing kelucuan. Diberi kesempatan berkali-kali di panggung, tetap saja tak bisa melucu atau memancing kelucuan. Bahkan, tak bisa berbagi peran. Inginnya terus menguasai panggung.

Kalau ada yang seperti itu, yang sering gagal melucu atau memancing kelucuan di panggung, maka dia bukan pelawak. Lebih baik mencari profesi yang lebih cocok untuknya.

Jadi, saya ulangi lagi. Pelawak juga manusia. Ada kalanya dia mati gaya. Namun, pelawak yang sudah mendarah daging, maka dia akan lebih sering sukses membuat kelucuan atau memancing kelucuan daripada gagal. Kalau mereka yang lebih sering gagal membuat kelucuan atau memancing kelucuan, mungkin dunianya bukan dunia komedi. Mungkin dia lebih cocok menjadi wakil rakyat. Mungkin seperti itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun