Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perundungan Dinetralkan dengan Hobi, Dilawan dengan Lingkungan

9 September 2021   13:28 Diperbarui: 9 September 2021   13:30 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi perundungan. foto: Thinkstockphotos.com dipublikasikan kompas.com

Zaman dahulu, perundungan terjadi tak terkendali. Tak ada kontrol dan diskursus yang masif di masa lalu. Setidaknya itu yang saya rasakan.

Kisaran 30-an tahun lalu, ada yang menganggap perundungan biasa saja. Satu ketika saat saya masih seumuran sekolah dasar, satu orang teman dibully, diolok oleh teman yang lain. Lalu si teman yang dibully ini marah.

Kemarahan teman saya ditanggapi enteng oleh orang tua yang melihat adegan itu. "Diolok kan ngga ada yang hilang. Badanmu masih tetap, duitmu masih tetap," kata si orang tua.

Jadi orang tua itu menilai kerugian hanya secara bendawi. Olok-olok dan perendahan secara fisik bukan hal yang penting. Anak-anak di masa lalu harus bertarung sendirian melawan pembulian verbal karena minimnya pembelaan pada korban perundungan. Kalau bully secara fisik misalnya dipukul, kemungkinan baru dibela orangtuanya.

Jadi, bagi anak dahulu, harus bisa mengurus diri sendiri dengan baik, termasuk mengelola diri ketika dibully. Sebab, kontrol dan diskursus eksternal tentang perundungan tidak masif. Dulu jarang ada diskusi, seminar, apalagi webinar yang membahas hal spesifik tentang perundungan. Jika pun ada seminar atau diskusi tentang perundungan, saya pikir itu terjadi di kota besar, kalau di kampung, ya jarang.

Nah, saya termasuk anak yang sering kena olol-olok, khususnya di luar lingkungan kampung. Diolok-olok soal fisik yang memberi kesan negatif. Tapi, yang namanya anak, di masa lalu pun saya pernah melakukan perundungan ke anak lain.

Perundungan yang saya alami, berlanjut saat SMA. Bahkan, guru bimbingan konseling sampai iba melihat saya jadi objek perundungan. Setelah selesai sekolah yakni di dunia kerja, perundungan itu masih saya terima, walau dengan intensitas sedikit.

Lalu Bagaimana?

Kecenderungan anak yang kena perundungan adalah kalah. Mereka jarang melawan. Kalau melawan pun kalah. Biasanya seperti itu.

Kalau saya, dulu sempat melawan, tapi tidak terbuka di forum atau di tempat umum. Saya bicara personal dan saya memprotes cara seseorang mengolok-olok saya. Akhirnya yang bersangkutan minta maaf.

Saya juga merasa beruntung tidak terpuruk karena perundungan. Artinya, saya punya kesukaan yang sangat gila di masa lalu. Saya suka main sepak bola dan menonton sepak bola. Ketika saya punya hobi itu, itulah yang "menyelamatkan" saya.

Jadi, ketika hasrat saya besar saat main sepak bola atau menonton sepak bola, hal itu menenangkan saya. Saya tertolong karena memiliki hal lain yang ditunggu dan dipikirkan, yakni hobi dengan sepak bola.

Maka, saya berpikir, perlu bagi seorang anak untuk memiliki hobi. Tentunya hobi yang tidak negatif, seperti olahraga misalnya. Dengan memiliki hobi, maka ada hal lain yang dipikirkan. Ada pelarian yang positif ketika seseorang memiliki masalah.

Bahkan, bagi saya, sekadar hobi mincing pun tak masalah. Setidaknya ada kegiatan untuk melepas ketegangan ketika anak muda memiliki masalah. Kalau menurut saya, jangan sampai anak tak memiliki hobi. Tentu saja hobi yang tidak negatif.

Apakah Hobi Cukup?

Hobi hanya untuk mengurangi tekanan saja. Hobi bukan untuk menyelesaikan persoalan. Maka, bagi saya perundungan harus dilawan oleh komunitas, oleh lingkungan. Lingkungan sekolah, rumah, kampung, kerja, harus memiliki mekanisme atau semangat untuk melawan perundungan.

Lingkungan yang peduli dan melawan perundungan, akan jadi area aman bagi para korban perundungan. Misalnya lingkungan sekolah, lingkungan rumah, lingkungan kerja intens melawan perudungan. Akan membuat anggota lingkungan aman dari korban perundungan.

Kenapa lingkungan sangat penting? Karena sepemahaman saya, korban perundungan cenderung sulit melawan atau cenderung tidak melawan. Mungkin saja karena memang mereka sudah dinilai lemah sehingga jadi pusat perundungan. Maka, lingkungan menjadi poin penting untuk melawan perundungan.

Perlunya memasifkan pemahaman bahwa manusia memiliki harkat, memiliki martabat, memiliki harga diri. Manusia bukan bahan olok-olok yang merendahkan dan bisa memunculkan problem psikologis yang mengerikan. Memasifkan nilai yang melawan perundungan harus terus digencarkan. Sebab, semua tentu tak mau memunculkan anak-anak yang jadi monster bagi yang lainnya. Anak-anak yang merasa benar sendiri dan merundung mereka yang berbeda. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun