ilustrasi perundungan. foto: Thinkstockphotos.com dipublikasikan kompas.com
Zaman dahulu, perundungan terjadi tak terkendali. Tak ada kontrol dan diskursus yang masif di masa lalu. Setidaknya itu yang saya rasakan.
Kisaran 30-an tahun lalu, ada yang menganggap perundungan biasa saja. Satu ketika saat saya masih seumuran sekolah dasar, satu orang teman dibully, diolok oleh teman yang lain. Lalu si teman yang dibully ini marah.
Kemarahan teman saya ditanggapi enteng oleh orang tua yang melihat adegan itu. "Diolok kan ngga ada yang hilang. Badanmu masih tetap, duitmu masih tetap," kata si orang tua.
Jadi orang tua itu menilai kerugian hanya secara bendawi. Olok-olok dan perendahan secara fisik bukan hal yang penting. Anak-anak di masa lalu harus bertarung sendirian melawan pembulian verbal karena minimnya pembelaan pada korban perundungan. Kalau bully secara fisik misalnya dipukul, kemungkinan baru dibela orangtuanya.
Jadi, bagi anak dahulu, harus bisa mengurus diri sendiri dengan baik, termasuk mengelola diri ketika dibully. Sebab, kontrol dan diskursus eksternal tentang perundungan tidak masif. Dulu jarang ada diskusi, seminar, apalagi webinar yang membahas hal spesifik tentang perundungan. Jika pun ada seminar atau diskusi tentang perundungan, saya pikir itu terjadi di kota besar, kalau di kampung, ya jarang.
Nah, saya termasuk anak yang sering kena olol-olok, khususnya di luar lingkungan kampung. Diolok-olok soal fisik yang memberi kesan negatif. Tapi, yang namanya anak, di masa lalu pun saya pernah melakukan perundungan ke anak lain.
Perundungan yang saya alami, berlanjut saat SMA. Bahkan, guru bimbingan konseling sampai iba melihat saya jadi objek perundungan. Setelah selesai sekolah yakni di dunia kerja, perundungan itu masih saya terima, walau dengan intensitas sedikit.
Lalu Bagaimana?
Kecenderungan anak yang kena perundungan adalah kalah. Mereka jarang melawan. Kalau melawan pun kalah. Biasanya seperti itu.