Mulai musim ini, ada tiga ajang untuk klub-klub Eropa yakni Liga Champions, Liga Europa, dan Conference League. Nama terakhir baru muncul di musim ini.
Sejatinya di masa lalu juga ada tiga ajang di Eropa. Ajang tersebut adalah Liga Champions, Piala Winner, dan Piala UEFA (berubah jadi Liga Europa). Piala Winner adalah ajang yang dihilangkan karena ekspansi Liga Champions.
Dahulu, tiga ajang itu diikuti oleh mereka yang memiliki level berbeda. Level paling tinggi adalah Liga Champions yang diikuti tim juara liga domestik plus juara bertahan Liga Champions.
Level kedua adalah Piala Winner yang diikuti oleh mereka yang juara ajang piala domestik. Apa ajang piala domestik? Kalau di Italia adalah Coppa Italia, kalau di Jerman adalah Piala Jerman (DFB-Pokal), kalau di Spanyol adalah Copa del Rey. Di Inggris ada dua ajang domestik yakni Piala FA dan Piala Liga. Wakil Inggris di Piala Winner adalah yang juara Piala FA.
Beberapa klub elite Eropa saat itu pernah juara Piala Winner. Mereka di antaranya Barcelona, Chelsea, Paris Saint-Germain, dan Lazio. Lazio adalah juara terakhir Piala Winner.
Level ketiga adalah Piala UEFA yang diikuti mereka yang ada di papan atas liga domestik tapi bukan juara liga. Dengan begitu, Piala UEFA bisa dikatakan kasta terbawah.
Namun, pembagian tiga level ini menjadi ambyar sejak musim 1997-1998. Sebab, di musim itu, ada revolusi Liga Champions. Peserta Liga Champions ditambah.
Sejak musim 1997-1998 peserta Liga Champions bukan hanya juara liga domestik dan juara bertahan. Mereka yang ada di papan atas pun bisa lolos ke Liga Champions.
Sebagai contoh, di Liga Champions musim 1997-1998, Italia memiliki dua wakil yakni Juventus dan Parma. Juventus adalah juara Liga Italia dan Parma sebagai runner up Liga Italia. Inggris juga memiliki dua wakil yakni Manchester United dan Newcastle United.
Ekspansi Liga Champions membuat Piala Winner tak menarik. Pasalnya, klub-klub besar yang juara piala domestik sekaligus ada di papan atas liga domestik, akan bermain di Liga Champions. Jika fenomenanya begitu, maka slot Piala Winner diberikan pada runner up piala domestik yang bisa jadi adalah klub medioker.
Selain itu, tim besar akan lebih mengejar masuk ke papan atas daripada memburu piala domestik. Sebab, dengan masuk papan atas, mereka bisa main di Liga Champions.
Maka, tim-tim besar akan melepas ajang piala domestik. Sebagai contoh, di Piala Winner musim 1997-1998, Italia diwakili Vicenza. Vicenza adalah juara Coppa Italia. Vicenza bukan klub besar, walaupun mengejutkan.
Bagi Anda yang mengikuti Liga Italia pertengahan sampai akhir 90-an, pasti kenal Vicenza. Salah satu bintang terkemuka mereka adalah Marcelo Otero, penyerang berkewarganegaraan Uruguay. Tapi bagi mereka yang mengikuti sepak bola Eropa sejak tahun 2000-an, kemungkinan asing dengan nama Vicenza.
Kembali ke pembahasan Piala Winner. Di musim 1997-1998, praktis hanya Chelsea dan Stuttgart yang merupakan klub besar di Piala Winner. Maka final pun sudah bisa ditebak yakni Chelsea vs Stuttgart dengan Chelsea sebagai juaranya.
Karena kontestan Piala Winner tak lagi kompetitif, maka musim 1998-1999 adalah musim terakhir adanya ajang Piala Winner. Juara terakhir Piala Winner adalah Lazio. Lazio juara setelah mengalahkan Mallorca 2-1 di final. Gol Lazio dibuat Christian Vieri dan Pavel Nedved.
Sejak musim 1999-2000, Piala Winner mati dan Liga Champions lebih ekspansif. Sebab, peserta dari satu negara bisa sampai empat klub. Sejak musim 1999-2000 hanya ada dua ajang yakni Liga Champions dan Piala UEFA yang kemudian berubah nama jadi Liga Europa.
Sebenarnya ada satu ajang lain di Eropa. Namanya Piala Intertoto yang ditake over UEFA sejak 1995 sampai 2008. Juara Piala Intertoto berhak main di Piala UEFA. Jadi Piala Intertoto ini seperti kualifikasi bagi ajang Piala UEFA.
Kemudian kini muncul UEFA Conference League. Sehingga kembali ada tiga ajang di Eropa. Tapi ada alasan yang bertolak belakang antara bubarnya Piala Winner dengan munculnya UEFA Conference League.
Piala Winner dibubarkan karena diisi klub medioker setelah ekspansi Liga Champions. Sementara, UEFA Conference League dibentuk untuk menampung tim-tim medioker.
Sebuah alasan dengan logika yang aneh. Dulu dibubarkan karena diisi tim medioker, kini dimunculkan karena untuk menampung tim medioker. Tapi alasan aneh ini tetap diterima karena alasan utamanya saya kira sama, yakni uang.
Dulu tim medioker ditendang agar uang menumpuk di Liga Champions. Kini ketika Liga Champions sudah di titik jenuh pendapatan, dibukalah keran baru untuk mengeruk duit dengan menampung tim medioker. Demi uang. Mungkin begitu? Entahlah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H