Maka, tim-tim besar akan melepas ajang piala domestik. Sebagai contoh, di Piala Winner musim 1997-1998, Italia diwakili Vicenza. Vicenza adalah juara Coppa Italia. Vicenza bukan klub besar, walaupun mengejutkan.
Bagi Anda yang mengikuti Liga Italia pertengahan sampai akhir 90-an, pasti kenal Vicenza. Salah satu bintang terkemuka mereka adalah Marcelo Otero, penyerang berkewarganegaraan Uruguay. Tapi bagi mereka yang mengikuti sepak bola Eropa sejak tahun 2000-an, kemungkinan asing dengan nama Vicenza.
Kembali ke pembahasan Piala Winner. Di musim 1997-1998, praktis hanya Chelsea dan Stuttgart yang merupakan klub besar di Piala Winner. Maka final pun sudah bisa ditebak yakni Chelsea vs Stuttgart dengan Chelsea sebagai juaranya.
Karena kontestan Piala Winner tak lagi kompetitif, maka musim 1998-1999 adalah musim terakhir adanya ajang Piala Winner. Juara terakhir Piala Winner adalah Lazio. Lazio juara setelah mengalahkan Mallorca 2-1 di final. Gol Lazio dibuat Christian Vieri dan Pavel Nedved.
Sejak musim 1999-2000, Piala Winner mati dan Liga Champions lebih ekspansif. Sebab, peserta dari satu negara bisa sampai empat klub. Sejak musim 1999-2000 hanya ada dua ajang yakni Liga Champions dan Piala UEFA yang kemudian berubah nama jadi Liga Europa.
Sebenarnya ada satu ajang lain di Eropa. Namanya Piala Intertoto yang ditake over UEFA sejak 1995 sampai 2008. Juara Piala Intertoto berhak main di Piala UEFA. Jadi Piala Intertoto ini seperti kualifikasi bagi ajang Piala UEFA.
Kemudian kini muncul UEFA Conference League. Sehingga kembali ada tiga ajang di Eropa. Tapi ada alasan yang bertolak belakang antara bubarnya Piala Winner dengan munculnya UEFA Conference League.
Piala Winner dibubarkan karena diisi klub medioker setelah ekspansi Liga Champions. Sementara, UEFA Conference League dibentuk untuk menampung tim-tim medioker.
Sebuah alasan dengan logika yang aneh. Dulu dibubarkan karena diisi tim medioker, kini dimunculkan karena untuk menampung tim medioker. Tapi alasan aneh ini tetap diterima karena alasan utamanya saya kira sama, yakni uang.
Dulu tim medioker ditendang agar uang menumpuk di Liga Champions. Kini ketika Liga Champions sudah di titik jenuh pendapatan, dibukalah keran baru untuk mengeruk duit dengan menampung tim medioker. Demi uang. Mungkin begitu? Entahlah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H