Ilustrasi kebebasan berpendapat. Foto/gambar: shutterstock dipublikasikan kompas.com
Aku sedang melamun. Mengidamkan kebebasan berpendapat dikontrol oleh masyarakat dan tak berujung pidana. Mengidamkan, kebebasan berekspresi bukan dikontrol pemerintah yang berujung pidana. Bisakah seperti itu? Tak tahulah.
Dari lamunanku, sepertinya ada dua hal soal urus-mengurus. Ada hal yang harus diurus aparat pemerintah dan ada yang cukup diurus masyarakat.
Laku kriminal atau pidana seperti pembunuhan, korupsi, maling, pemerkosaan diurus aparat pemerintah. Mereka yang diduga melakukan kriminal ditangkap, diproses ke pengadilan.
Lalu apa yang diurus masyarakat? Misalnya adat atau kebiasaan kelompok. Contohnya, orang kalau bertamu harus mengetuk pintu, ucap salam terlebih dahulu, dan sebagainya.
Biasanya mereka yang "melanggar" kesepakatan komunitas akan ditegur. Bahkan, yang parah akan jadi sorotan hingga malu luar biasa. Tak ada pemidanaan. Ada komunitas atau adat tertentu masih kuat memegang nilai tanpa ada pemidanaan.
Uniknya, kebiasaan komunitas atau adat tertentu tersebut hanya diwariskan melalui budaya tutur, turun temurun. Tak ada pewarisan melalui tulis menulis. Mereka seperti memegang erat tali maya berupa ucapan dari leluhur yang turun temurun.
***
Kenapa kebebasan berpendapat cukup dikontrol masyarakat? Karena salah satunya, pendapat itu bukan laku pidana.
Masyarakat akan bisa mengontrol atau mengurus kebebasan berpendapat dengan baik jika memiliki kepahaman dan kepatutan. Kepahaman dan kepatutan hendaknya dimaknai lebih bernilai daripada uang.
Masyarakat yang paham, memiliki pengetahuan dan logika yang memadai. Pengetahuan dan logika bisa dibangun melalui membaca dan ngobrol atau diskusi. Diskusi tak melulu soal hal yang di atas awan. Ngobrol bagaimana membangun jalan tanpa menutup selokan, juga bentuk diskusi.
Diskusi tak melulu soal negara, tapi bisa soal RT, RW, desa. Jika pengetahuan  dan logika memadai, maka orang bisa berpendapat dengan tepat.
Kemudian masyarakat yang patut. Kepatutan misalnya tentang nilai universal kemanusiaan. Bagaimana antarwarga tak merendahkan. Bagaimana ketika beda pendapat tak merendahkan kemanusiaan. Bagaimana memperlakukan manusia sebagai manusia. Bukan memperlakukan manusia sebagai hewan.
Kepahaman dan kepatutan itu hendaknya berada di atas duit. Artinya, kepahaman dan kepatutan itu tak bisa dibeli. Misalnya, jangan sampai masyarakat permisif dengan mengabaikan pengetahuan dan kepatutan demi uang.
Kalau kepahaman dan kepatutan sudah paripurna, bisa muncul ekspresi dan diskusi yang membangun. Bukan diskusi yang malah penuh dengan caci maki, kebencian, dan berusaha unggul sembari merendahkan yang lain. Â
Nah kini, tinggal bagaimana membangun peradaban dengan baik. Sehingga, ekspresi dan diskusi dalam kerangka pengetahuan dan kemanusiaan bisa berjalan. Membangun peradaban salah satunya bisa dimulai dari mereka yang masih kuncup seperti anak-anak.
Tapi, tidak mudah memasifkan pemahaman dan kepatutan kalau sejak kecil sudah disiapkan atau terpaksa disiapkan atau tak sengaja disiapkan sebagai calon alat produksi yang tujuan utamanya adalah uang. Begitu? Entahlah, lamunanku tiba-tiba berhenti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H