Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ngaku Hebat dengan Merendahkan Lainnya, Berarti Tak Pede

6 Juni 2021   07:14 Diperbarui: 6 Juni 2021   07:18 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kampungku memang unik karena banyak warganya suka ngomong. Kalau mengkritik pada yang beda haluan, tajamnya ngga ketulungan. Memosisikan sebagai malaikat yang sedang bicara kemartabatan.

Di sisi lain, ketika kubunya melakukan kesalahan, mencari banyak dalil dan dalih. Repot memang. Tapi aku bersyukur, selama ini tak pernah ada kekerasan fisik. Paling hanya riuh-riuh saja.

Mad Karmo misalnya, dia itu kalau lihat kubu lain dengan benci yang menggunung. "Coba lihat itu etalase rumah mereka, warnanya sama semua. Beda dengan kelompokku, warnanya beragam," kata Mad Karmo.

Mad Sarmo, kembaran Mad Karmo, justru ada di kubu berbeda. "Kita satu suara. Itu bukti kita kompak. Bukan pecah-pecah seperti itu," katanya.

Damiri, temannya Mad Karmo melihat kelompok lain sebagai kurang kerjaan. "Kayak gitu saja diributkan. Dasar pendidikan rendah,"kata Damiri dengan suara tinggi pada Samiun.

Samiun ini orangnya Mad Sarmo. "Kamu tukang rusuh minta jatah sana sini, tukang malak tapi sok jadi malaikat," kata Samiun merespons Damiri.

Situasi kayak gitu sering muncul tiap hari. Nanti kalau ada bantuan ke kampungku, para kubu adu kuat. Maunya bantuan hanya ke satu kubu. Memang tak pernah sampai ada kontak fisik, paling adu argumentasi yang tak jelas.

Masalah reda sementara ketika aparat datang. Saat ada bantuan di hari lainnya, kisruh adu mulut muncul lagi. Bayangkan saja setiap ada bantuan, ada adu argumen tak jelas.

Kebetulan antar kelompok di kampung kami itu memang terpisah secara area. Kelompoknya Mad Karmo di  kampung bagian utara dan kelompok Mad Sarmo di bagian selatan.

Kelompok Mad Sarmo minta izin ke kepala desa. Mereka mau buat acara baris berbaris di areanya kelompok Mad Karmo. Desa mengizinkan. Tapi sekalipun acara belum dilakukan ramai ricuh adu mulut. Saling serang argumen, memanas di dunia nyata dan maya.

Mad Karmo merasa areanya akan  diinjak-injak. Spanduk bertebaran di mana-mana menolak acara baris-berbaris kelompok Mad Sarmo. Entah bagaimana ceritanya, akhirnya reda. Yang pasti Mad Sarmo tak jadi mengadakan acara baris berbaris.

Nah, beberapa bulan kemudian, kelompok Mad Karmo ingin membuat gardu kecil di area "milik" Mad Sarmo. Geger lagi karena pihak Mad Sarmo menolak mentah-mentah.

"Arogan sekali kubu Mad Sarmo. Ini kan tanah desa, gardu ini juga untuk kepentingan bersama. Membuat hal baik di tanah milik Tuhan masak dilarang," kata Toni, dari kelompok Mad Karmo.

Tino, kembaran Toni dari kelompok Mad Karso unjuk suara. "Kamu jangan rabun sejarah Ton. Kelompokmu saja juga menolak saat kami akan melakukan baris-berbaris. Itu kan tanahnya Tuhan. Kini kami boleh dong melakukan hal serupa," kata Tino.

Wah kampungku melelahkan pokoknya. Lebih lebih dunia maya juga digunakan untuk saling serang. Tapi memang tak pernah ada pertumpahan darah.

Aku yang cerita saja pusing. Sebab, kampungku banyak sekali orang kembar. Mereka yang kembar itu tak ada satu pun yang satu kelompok. Wajah mirip tapi beda kubu.

Mereka merasa besar dengan merendahkan kelompok lain. Ya kalau merasa besar harusnya pede saja tanpa membandingkan dengan kelompok lain. Kalau membandingkan ya berarti tak pede.

Lelah pokoknya di kampungku. Tapi aku mau pindah kampung, di kampung lain lebih parah. Bukan hanya kubu-kubuan, tapi darah sudah menetes di banyak tempat. Ya sudah. Asal tak sampai rusuh fisik, hidup di kampungku aman aman saja. Paling ya tutup telinga rapat-rapat biar tidak stress.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun