Aku masih ingat bagaimana pada 1996, Italia menjadi salah satu kandidat juara Euro. Salah satu alasannya, dua tahun sebelumnya mereka mampu lolos ke final Piala Dunia dan hanya kalah adu penalti dari Brasil.
Selain itu, Italia juga dipenuhi pemain bintang. Ada Del Piero, Ravanelli, Casiraghi, Fuser, Maldini, dan tentu saja Gianfranco Zola. Kala itu, Zola adalah pemain Parma.
Italia berada di grup C bersama Jerman, Republik Ceko, dan Rusia. Di laga perdana Italia mampu mengalahkan Rusia 2-1. Gol diborong Casiraghi. Salah satu gol Casiraghi diotaki oleh Zola.
Di laga kedua, Italia secara mengejutkan kalah 1-2 dari Republik Ceko. Gol Italia dibuat Enrico Chiesa, bapak dari pemain Juventus saat ini Federico Chiesa. Setelah kekalahan dari Republik Ceko itu, Italia akan menghadapi laga berat melawan Jerman.
Saat laga melawan Jerman, aku ingat bahwa Italia harus menang untuk lolos. Italia kala itu memiliki peluang untuk mengalahkan Jerman. Sebab, Italia mendapatkan tendangan penalti.
Sayangnya Zola gagal mencetak gol lewat penalti itu. Laga berakhir imbang 0-0. Zola tentu saja sedih karena hasil seri itu membuat Italia tersingkir.
Di ajang akbar, Zola memang tak beruntung. Di Euro 1996, kegagalan penaltinya membuat Italia angkat koper lebih cepat. Dua tahun sebelumnya di Piala Dunia 1994, Zola hanya main sekali sebagai pemain pengganti. Tapi setelah main jadi pemain pengganti, Zola malah dapat kartu merah. Itu terjadi saat laga melawan Nigeria.
Kembali ke kegagalan Italia di Euro 1996. Saat itu, aku tak mengerti mengapa Italia gagal lolos ke babak gugur. Padahal Italia memiliki nilai sama dengan Republik Ceko dan punya selisih gol yang lebih baik.
Setahuku, media di Indonesia tak pernah menjelaskan lebih detail mengapa Italia gagal dan Republik Ceko yang lolos.
Ternyata setelah beberapa tahun kemudian diketahui jika UEFA memang mengedepankan head to head jika ada dua tim yang memiliki nilai sama. Maka, Italia gagal ke babak gugur karena mereka kalah head to head dari Republik Ceko.
Seingat saya, kasus Italia itu adalah kasus pertama di ajang Euro. Di Euro tahun-tahun sebelumnya tak ada tim yang tersisih karena alasan head to head.
Saya sendiri termasuk tak sepakat dengan aturan mengedepankan head to head jika dua tim dalam sebuah grup di kejuaraan memiliki nilai sama di klasemen akhir.
Mengapa tak sepakat? Sederhana saja. Pembentukan grup adalah ajang mempertemukan semua tim di grup itu. Maka ketika ada dua tim memiliki nilai sama, yang harus dikedepankan adalah performa tim melawan semua anggota grup dan mengedepankan penghitungan selisih gol adalah yang tepat.
Penentuan dengan mengedepankan selisih gol adalah cara paling representatif untuk mengetahui performa setiap tim melawan semua tim di satu grup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H