Kau tahu, dia selalu menghilang dalam empat tahun. Sangat susah ditemui. Janjinya hanya janji surga. Anehnya, setahun sebelum pemilihan selanjutnya, dia datang lagi. Dia datang ke desa kami.
Dia bilang, maaf selama ini tak terlihat. Tapi semua dia lakukan demi desa kami. Dia bilang, bahwa dialah yang mengusahakan agar desa kami selalu mendapatkan bantuan paling awal.
Faktanya memang kalau ada bantuan, desa kami selalu awal. Tapi itu bukan hanya saat ini saja. Sejak dahulu desa kami sering paling awal, karena penduduknya banyak.
Sarmidi bilang desain rancangan untuk desa wisata sudah rampung dalam empat tahun. "Pak, Bu, ini rancangan sudah mau jadi. Tinggal eksekusi. Lima tahun selanjutnya eksekusi," kata dia meyakinkan.
Dia mengungkapkan janji itu di balai desa. Aku tentu saja naik darah.
"Yang terhormat, pak Sarmidi. Janjimu tahun-tahun lampau itu tak pernah direalisasikan. Kenapa sekarang buat janji lagi. Kalau tak mampu jadi wakil rakyat, mending sampeyan latihan dulu jadi Ketua RT," kataku.
"Terima kasih Man. Kalau aku dibilang tak kerja, lihatlah rancangan desa wisata ini. Empat tahun memeras keringat. Bantuan juga desa ini sering dapat awal. Kamu apa Man? Apa yang sudah kamu buat pada desamu. Jujur saya kecewa pak. Aku yang sudah kerja dibilang tak melakukan apa-apa," kata Sarmidi kemudian meneteskan air mata.
Dia mengusap matanya dengan tisu dan sambil berlalu dari forum. Orang-orang coba menghentikannya. Tapi Sarmidi terus berlalu. Semua orang lalu menatapku tajam.
"Man, kamu itu memang tukang kompor," teriak Wak Zaman.
Aku sendiri merasa kalah. Sebab, Sarmidi telah jadi pemenang dengan isak tangisnya itu. Semua orang membela Sarmidi. Dan kau tahu? Sarmidi kembali terpilih.
Tapi kembali lagi Sarmidi menghilang. Aku merasa ditipu. Tapi sebagian warga kampungku merasa Sarmidi telah memberi, setidaknya di hari pemilihan sebanyak Rp 100 ribu, cukup untuk makan dua hari.