Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kami Kena Ghosting Politik

15 Maret 2021   11:16 Diperbarui: 15 Maret 2021   11:18 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto hanya ilustrasi. Foto:kompas.com/mahdi muhammad

Aku tak mengerti kenapa semuanya jadi seperti ini. Kami berharap desa kami lebih baik dengan banyak lapangan kerja tapi juga ramah lingkungan.

Kami berharap kebun luas itu jadi tempat wisata yang mengeruk uang dari para pelancong. Itu pula yang dijanjikan Sarmidi di masa lalu. Sarmidi berjanji akan mengubah lahan itu lahan wisata alam.

Sarmidi benar-benar bermulut manis. Saat itu, dia ada di barisan depan ketika orang desa kami demo tentang apa saja. Entah bagaimana juga ceritanya dia bisa difoto mencangkul sawah, pakai cangkulnya Kasmo. Aku tahu karena hanya cangkulnya Kasmo yang gagangnya dicat merah.

Foto Sarmidi mencangkul itu ramai di dunia maya. Kata banyak orang, Sarmidi adalah calon pemimpin merakyat. Semua orang mengelukan Sarmidi.

Kau tahu kenapa Sarmidi sangat getol di desaku? Karena pemilih di desaku ada 10 ribu. Sekitar 10 ribu orang itu punya hak suara. Mereka yang bisa mengeruk setengah suara di desaku, bisa jadi wakil rakyat di kabupaten.

Maka, Sarmidi sudah ancang-ancang sejak tiga tahun sebelum pemilihan. Dia ikut nongkrong di gardu, ikut cawe cawe acara karangtaruna. Dia ikut ngurusi tetek bengek di desa. Memang Sarmidi bukan orang desa kami, tapi bapaknya adalah asli dari desa kami.

Di zaman sekarang ini, siapa yang tak suka tampilan. Mereka yang berbaju megah, wangi, tentu disukai. Tapi, mereka yang sederhana juga disukai karena katanya merakyat.

Kami benar benar terbius oleh Sarmidi. Sampai kemudian lebih dari 50 persen warga desa kami menyumbangkan suara untuk Sarmidi. Jadilah Sarmidi wakil rakyat tingkat kabupaten.

Ah, politik kadang memang begitu. Sarmidi setelah jadi wakil rakyat malah pelan-pelan menghilang. Kami sulit sekali menemuinya, menagih janjinya untuk mengembangkan desa. Jika didatangi ke rumah, Sarmidi selalu tidak ada.

Aku pernah datangi tim suksesnya. Tapi yang namanya tim sukses hanya menampung saja. "Saya hanya bisa menampung aspirasi. Nanti saya sampaikan ke bapak," kata Tarno, seorang tim sukses pada kami.

Tapi ya mau bagaimana, keinginan kami tak pernah terealisasi. Kami pernah datang ke gedung dewan. Tapi kami juga tak mendapati Sarmidi. Katanya dia sedang kunjungan kerja ke luar negeri.

Kau tahu, dia selalu menghilang dalam empat tahun. Sangat susah ditemui. Janjinya hanya janji surga. Anehnya, setahun sebelum pemilihan selanjutnya, dia datang lagi. Dia datang ke desa kami.

Dia bilang, maaf selama ini tak terlihat. Tapi semua dia lakukan demi desa kami. Dia bilang, bahwa dialah yang mengusahakan agar desa kami selalu mendapatkan bantuan paling awal.

Faktanya memang kalau ada bantuan, desa kami selalu awal. Tapi itu bukan hanya saat ini saja. Sejak dahulu desa kami sering paling awal, karena penduduknya banyak.

Sarmidi bilang desain rancangan untuk desa wisata sudah rampung dalam empat tahun. "Pak, Bu, ini rancangan sudah mau jadi. Tinggal eksekusi. Lima tahun selanjutnya eksekusi," kata dia meyakinkan.

Dia mengungkapkan janji itu di balai desa. Aku tentu saja naik darah.

"Yang terhormat, pak Sarmidi. Janjimu tahun-tahun lampau itu tak pernah direalisasikan. Kenapa sekarang buat janji lagi. Kalau tak mampu jadi wakil rakyat, mending sampeyan latihan dulu jadi Ketua RT," kataku.

"Terima kasih Man. Kalau aku dibilang tak kerja, lihatlah rancangan desa wisata ini. Empat tahun memeras keringat. Bantuan juga desa ini sering dapat awal. Kamu apa Man? Apa yang sudah kamu buat pada desamu. Jujur saya kecewa pak. Aku yang sudah kerja dibilang tak melakukan apa-apa," kata Sarmidi kemudian meneteskan air mata.

Dia mengusap matanya dengan tisu dan sambil berlalu dari forum. Orang-orang coba menghentikannya. Tapi Sarmidi terus berlalu. Semua orang lalu menatapku tajam.

"Man, kamu itu memang tukang kompor," teriak Wak Zaman.

Aku sendiri merasa kalah. Sebab, Sarmidi telah jadi pemenang dengan isak tangisnya itu. Semua orang membela Sarmidi. Dan kau tahu? Sarmidi kembali terpilih.

Tapi kembali lagi Sarmidi menghilang. Aku merasa ditipu. Tapi sebagian warga kampungku merasa Sarmidi telah memberi, setidaknya di hari pemilihan sebanyak Rp 100 ribu, cukup untuk makan dua hari.

"Sarmidi itu mending karena mau memberi. Coba yang lain? Sok bersih sok suci, juga tak memberi kontribusi apapun di desa ini," kata Manto padaku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun