Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Benarkah Kita Siap Mengkritik dan Dikritik?

10 Februari 2021   13:07 Diperbarui: 10 Februari 2021   13:17 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ramai soal pemerintah siap dikritik. Bahkan siap dikritik keras. Tapi tulisan ini tak membahas khusus kritik ke pemerintah. Ini soal umum saja. Soal kritik mengkritik.

Saya selalu bertanya, apakah benar kita adalah orang yang siap mengkritik dan dikritik. Kita? Ya kita orang Indonesia. Jawaban komprehensif apakah kita siap mengkritik dan dikritik, tentu perlu penelitian, hehehe. Tapi, saya hanya ingin cerita soal kritik mengkritik ini. Tentu saja mungkin malah parsial atau tidak komprehensif. Tapi bisa jadi yang saya alami sama dengan beberapa orang.

Saya merasa bahwa kehidupan kita (mungkin juga sebagian kita), tidak biasa dengan kritik mengkritik. Saya masih ingat di masa Orde Baru, kritik itu hal yang langka atau lebih tepatnya dilarang.

Saya pikir orang-orang yang dewasa saat ini, yakni berusia kisaran 40 tahun ke atas adalah orang yang besar di masa Orde Baru. Jadi orang-orang ini di masa lalunya tak terbiasa dengan kritik, termasuk saya.

Kemudian, ketika Reformasi bergulir, kritik menjadi air bah yang tak terbendung. Saya pikir sejak 1998, kritik itu mewabah. Tapi, saya pikir kita (sebagian kita) gagap.

Saya akan bercerita soal kegagapan itu. Dulu di masa kepala dua tak lama setelah Reformasi, saya pernah melakukan penelitian bersama beberapa teman pada sebuah desa di Kebumen, Jawa Tengah.

Seorang perangkat desa mengkritik atau lebih tepatnya mempermasalahkan saya yang datang minta perizinan ke balai desa. Apa yang dipermasalahkan? Saya datang pakai sandal, tak pakai sepatu. Hehehe.

Namanya juga gairah muda. Saat itu penampilan saya dipersoalkan alias dikritik. Kalau mau bijak, harusnya saya terima kritik itu. Tapi, mungkin saya tak mau dikritik kala itu. Saya langsung cari celah untuk mengkritik balik.

Benar saja, perangkat desa yang mempersoalkan penampilan saya, ternyata juga pakai sandal. Bahkan sandal jepit. Itu saya ketahui ketika dia berjalan menjauhi meja kerjanya.

Langsung saya menunjuk kakinya yang pakai sandal jepit. Muka si perangkat itu merah padam. Murka. Sebenarnya jika mau jujur, saya bukan mengkritik si perangkat itu, tapi niatnya karena tak terima dikritik lalu cari celah dan mengkritik balik. Runyam akhirnya!

Berjalannya waktu, saya menemui banyak orang yang mengaku terbuka dan siap dikritik. Tapi begitu dikritik, malah tidak terima. Banyak saya temui seperti itu. Mungkin secara tak sadar, saya juga bisa seperti itu. Tak siap dikritik. Ya karena tumbuh di kehidupan yang antikritik atau tanpa kritik masa Orde Baru.

Ada yang posisinya tinggi dan kaya, koar koar siap dikritik bawahannya. Tapi begitu dikritik bawahan, posisi bawahan ini diturunkan atau diperumit. Ya akhirnya tak ada yang mau mengkritik karena akan diancam periuk nasinya.

Ada yang sangat suka mengkritik. Tapi ketika dikritik balik, langsung kebakaran jenggot. Bawa bawa posisi dan jabatan. Bawa bawa kaluarga dan kekayaan. Hadeh.

Ada yang gagap dikritik dan ada yang gagap mengkritik. Yang gagap mengkritik adalah mereka yang menyerang orang yang sudah menyerah dan minta maaf. Sudah minta maaf, diungkit terus kesalahannya. Diungkit sampai beberapa hari, bahkan bertahun-tahun. Wkwkwk.

Ada yang getol mengkritik tapi pakai nama palsu. Nah, bagaimana mau bermanfaat kritiknya, wong identitasnya saja buram seperti karbon. Ngapain mengiyakan atau menolak orang yang identitasnya tak jelas.

Apakah salah orang yang gagap mengkritik dan gagap dikritik? Menurut saya tidak salah. Mereka (mungkin termasuk saya), adalah produk yang lahir dan besar pada masa antiperbedaan. Hal itu sudah mengakar.

Jika memang ingin melihat buka bukaan mengkritik, mungkin ya ketika anak anak  internet itu nanti jadi dewasa. Mereka adalah anak anak yang mulai abai pada penghormatan. Mereka adalah anak-anak yang mengkritik tanpa tedeng aling aling. Mereka adalah anak-anak yang tumbuh di masa kebebasan menjadi Tuhan.

Ya mungkin 10 sampai 15 tahun yang akan datang, kritik mengkritik menjadi hal biasa. Di masa itu kita tak hanya dihadapkan pada ekonomi yang bebas, tapi juga ekspresi yang bebas. Ekspresi yang tak dibalut apapun. Sehingga mereka adalah orang yang jujur siap mengkritik dan siap dikritik. Bukan orang yang munafik yang sok akrab dengan kritik padahal gagap mengkritik dan gagap dikritik.

Apakah akan bagus, situasi kritik mengkritik secara terbuka dan jujur? Ya lihat saja nanti saat waktu itu tiba. Atau jangan-jangan ketika situasi kritik mengkritik terbuka, kita malah bernostalgia ingin kembali ke masa ketenangan, masa kesamaan, masa satu suara? Hadeh. Ya itulah manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun