Ramai soal pemerintah siap dikritik. Bahkan siap dikritik keras. Tapi tulisan ini tak membahas khusus kritik ke pemerintah. Ini soal umum saja. Soal kritik mengkritik.
Saya selalu bertanya, apakah benar kita adalah orang yang siap mengkritik dan dikritik. Kita? Ya kita orang Indonesia. Jawaban komprehensif apakah kita siap mengkritik dan dikritik, tentu perlu penelitian, hehehe. Tapi, saya hanya ingin cerita soal kritik mengkritik ini. Tentu saja mungkin malah parsial atau tidak komprehensif. Tapi bisa jadi yang saya alami sama dengan beberapa orang.
Saya merasa bahwa kehidupan kita (mungkin juga sebagian kita), tidak biasa dengan kritik mengkritik. Saya masih ingat di masa Orde Baru, kritik itu hal yang langka atau lebih tepatnya dilarang.
Saya pikir orang-orang yang dewasa saat ini, yakni berusia kisaran 40 tahun ke atas adalah orang yang besar di masa Orde Baru. Jadi orang-orang ini di masa lalunya tak terbiasa dengan kritik, termasuk saya.
Kemudian, ketika Reformasi bergulir, kritik menjadi air bah yang tak terbendung. Saya pikir sejak 1998, kritik itu mewabah. Tapi, saya pikir kita (sebagian kita) gagap.
Saya akan bercerita soal kegagapan itu. Dulu di masa kepala dua tak lama setelah Reformasi, saya pernah melakukan penelitian bersama beberapa teman pada sebuah desa di Kebumen, Jawa Tengah.
Seorang perangkat desa mengkritik atau lebih tepatnya mempermasalahkan saya yang datang minta perizinan ke balai desa. Apa yang dipermasalahkan? Saya datang pakai sandal, tak pakai sepatu. Hehehe.
Namanya juga gairah muda. Saat itu penampilan saya dipersoalkan alias dikritik. Kalau mau bijak, harusnya saya terima kritik itu. Tapi, mungkin saya tak mau dikritik kala itu. Saya langsung cari celah untuk mengkritik balik.
Benar saja, perangkat desa yang mempersoalkan penampilan saya, ternyata juga pakai sandal. Bahkan sandal jepit. Itu saya ketahui ketika dia berjalan menjauhi meja kerjanya.
Langsung saya menunjuk kakinya yang pakai sandal jepit. Muka si perangkat itu merah padam. Murka. Sebenarnya jika mau jujur, saya bukan mengkritik si perangkat itu, tapi niatnya karena tak terima dikritik lalu cari celah dan mengkritik balik. Runyam akhirnya!
Berjalannya waktu, saya menemui banyak orang yang mengaku terbuka dan siap dikritik. Tapi begitu dikritik, malah tidak terima. Banyak saya temui seperti itu. Mungkin secara tak sadar, saya juga bisa seperti itu. Tak siap dikritik. Ya karena tumbuh di kehidupan yang antikritik atau tanpa kritik masa Orde Baru.